Intisari-Online.com - Sejak kecil raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat (Yogyakarta) Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal di lingkungan keraton.
Ketika Sultan HB IX yang memiliki sifat pendiam itu kuliah di Belanda, ia tinggal di sebuah keluarga Belanda.
Dari situ, dari sisi kemampuan berbahasa Belanda, Sultan HB IX sangat fasih. Ia juga sangat memahami cara hidup orang Eropa.
Karena sifat Sultan HB IX yang pendiam dan kehidupannya lebih banyak tinggal bersama keluarga-keluarga Belanda, pemerintah Belanda sendiri meyakini Sultan HB IX sebagai sosok yang pro-Belanda.
Pemerintah Belanda bahkan menganggap Sultan HB IX sebagai sosok yang mudah diajak kerja sama dalam upaya mengusai RI lagi.
(Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwana X Bagai Pinang Dibelah Dua dengan Sang Ayah tapi Lebih Lugu dan Antipoligami)
Tapi perkiraan Belanda ternyata keliru karena Sultan HB IX ternyata sama sekali tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda.
Ketika pasukan Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan bermaksud menemui Sultan HB IX di keraton untuk diajak bekerja sama, Sultan menolaknya mentah-mentah.
Militer Belanda pun marah atas sikap Sultan HB IX itu.
Akibatnya panglima militer Belanda, Jenderal Simon Spoor sampai datang ke Keraton menggunakan tank dan memaksa masuk.
Jenderal Spoor yang sempat memerintahkan satu tank melepaskan tembakan peringatan ke udara memang ditemui oleh Sultan HB IX.
Namun Sultan HB IX tetap menolak untuk berdialog dan diajak kerja sama.
Sultan bahkan menegaskan, jika Jenderal Spoor masih memaksakan kehendaknya, sebaiknya melangkahi dulu mayat dirinya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR