(Baca juga: Yang Konyol-Konyol di Perang Dunia II: Nazi Gelar Pesawat Palsu dari Kayu dan Sekutu Mengebomnya Dengan Bom Kayu)
Seperti halnya dengan Mataram, Sultan Tirtayasa ini juga berusaha melebarkan kekuasaannya di Jawa Barat dan menganggap adanya Kompeni di Batavia sebagai penghalang.
Untuk itu iapun melancarkan boikot pula terhadap Batavia, karena ia telah mempunyai sekutu dagang baru yaitu orang-orang Inggris yang sudah diijinkan membuka kantor dagangnya di teluk Banten.
Boikot yang diderita Kompeni dari arah Barat dan Timur ini menyebabkan mereka hampir-hampir tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan untuk penghuni Batavia.
Karena itu dikirimkanlah beberapa orang duta khusus ke Mataram untuk mengadakan perundingan, namun usaha itu tetap tidak membawa hasil.
(Baca juga: (Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi)
Bahkan duta-duta itulah yang harus menderita, karena biasanya mereka malah dijadikan sandera di Mataram dan baru dibebaskan kembali kalau. Sultan yakin bahwa mereka bukanlah mata-mata yang dikirim Kompeni untuk menyelidiki kekuatan Mataram.
Bahkan ada di antara anggota rombongan duta itu yang dihukum mati atau harus mendekam dalam penjara Mataram selama bertahun-tahun.
Ketika Sultan Agung wafat tahun 1645 Kompeni mengira Mataram akan memperlunak sikapnya. Beberapa orang duta dikirim pula ke Mataram tanpa hasil.
Bahkan Mataram semakin memperketat boikot dan Susuhunan Mataram mengeluarkan ketentuan-ketentuan khusus bagi daerah-daerah Semarang, Demak, Jepara dan Rembang.
Di daerah-daerah yang terdapat beberapa kantor cabang VOC itu, Mataram menentukan bahwa: penduduk dilarang memperjual belikan beras lebih dari satu gantang setiap orang satu hari; dan penduduk dilarang menyimpan beras lebih dari untuk keperluan 4 — 5 hari bagi keluarganya.
Bila kedapatan lebih, maka kelebihannya akan disita dan dibuang ke sungai-sungai.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR