Intisari-Online.com – Salah satu dari jenis permainan yang saya sukai pada waktu masih anak-anak adalah gasing.
Di daerah kami di Malang, Jawa Timur, kata gasing tidak dikenal. Orang lebih banyak memakai nama 'kekeyan' untuk jenis permainan tersebut.
Sebaliknya di luar daerah Jawa Timur kata 'kekeyan' tidak begitu banyak dikenal. Orang-orang lebih mengenal dengan nama gasing, atau gangsing.
Jenis kayu yang dipakai waktu saya masih anak-anak adalah kayu jambu, sawo atau rambutan. Ukuran rata-rat sebesar telor bebek.
Beberapa kawan ada yang membuat dalam bentuk yang kecil sekali, sebiji kelereng. Sebaliknya ada pula yang dibuat sangat besar, hampir sebesar jeruk Bali.
Kalau kekeyan segede ini ditunjamkan ke Iawan-lawannya waktu aduan dia laksana bom dan yang kecil-kecil semburat ke segala penjuru.
(Baca juga: Tradisi Tiwah: Pesta Mengantar Arwah ke Surga Agar Tak Tersesat)
Cara menghunjamkan gasing yang sedemikian rupa ini dinamakan 'membanggal'. Adu banggal di daerah kami dinamakan banggalan.
Karena itu pula orang-orang di daerah kami selalu memakai nama kekeyan, yaitu jenis yang sering dipakai aduan. Sedang jenis lainnya, gasing, adalah yang terbuat dari bambu kuning, mempunyai lobang vertikal dan mengeluarkan bunyi merdu waktu berputar.
Setelah kami tanya-tanya kepada penduduk yang sudah lama menetap di Jakarta, permainan gangsing itu disebut 'pangkal'.
Di daerah Jawa Barat pada umumnya disebut 'panggal' dan aduannya "papanggalan". Di Solo 'paton'. Salah seorang yang dari Pulau Roti, Timor, menamakannya piong, yang ternyata dari bahasa Portugis pio.
Dari omong-omong kami dengan kawan-kawan lainnya dari berbagai daerah pada akhirnya terbentanglah horizon yang lebih luas dan mencakup: bahwa gasing ini tersebar di seluruh nusantara.
Biarpun bentuk-bentuknya anekaragam tetapi memiliki ciri-ciri yang sama dengan sumbernya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR