Nah, saya jadi curiga, jangan-jangan orang Jepang ini keras mendidik anak sendiri agar orangtuanya nya juga aman dari sangsi masyarakat? Entahlah.
Begitu tingginya tuntutan masyarakat kepada orang tua dan anak, serta perfeksionisnya mereka, walhasil makin banyak orang Jepang yang enggan beketurunan.
Takut gagal, takut tidak bisa membesarkan dengan baik, takut nanti jadi orang yang menyusahkan lingkungannya, takut nanti merepotkan keluarga besar.
Fiuh, ada-ada saja...
MENGERTI ORANG ASING
Orang Jepang lebih kibishii (strick) kepada sesama orang Jepang.
Orang asing lebih mudah dimaklumi bila melakukan kesalahan atau mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan keputusan kelompok. Jadi, Anda jangan takut.
Ketika akan makan siang bersama di kompleks mal misalnya.
Memutuskan hendak makan di mana bisa makan waktu begitu panjang, karena tidak ada yang berani berani tampil sebagai pengambil keputusan, mengetokkan palu.
Saya tahu ada beberapa orang ingin makan di restoran A, ada juga yang ingin ke B, ada yang ingin ke C.
Praktisnya ‘kan ya sudah, berpisah saja makan di tempat yang diinginkan. Toh setelah itu bisa ketemu lagi.
Bisa ditebak ending ceritanya. Tentu saja rombongan itu akhirnya makan di tempat yang sama, setelah melalui rapat panjang, sementara saya sudah duluan makan di tempat lain yang memang saya inginkan.
Jika tindakan saya dilakukan seorang (Mama) Jepang, barangkali dipandang aneh oleh kelompoknya, lantaran dianggap membelot.
Tapi karena pelakunya saya, seorang Indonesia asli, jadi ya oke-oke saja.
Saat masih bekerja di Tokyo, saya dan kawan Jepang sama-sama ditegur atasan lantaran kesalahan serupa.
Saya masih ingat betul, atasan itu bicara lebih tajam kepada kawan Jepang, bahkan dengan embel-embel : kamu orang Jepang kan, bla bla bla. Waduh.
Selain itu, walaupun cenderung tertutup, orang Jepang sangat mudah mengulurkan bantuan. Bahkan kadang tanpa diminta.
Rona mengakui sering “memanfaatkan” kebaikan itu.
Misalnya saat memerlukan informasi tentang Disneyland, dia akan bercerita kepada teman, ingin ke Disneyland tapi tidak tahu jalan.
Nah, bisa dipastikan kawan Jepangnya akan menjelaskan detail seluruh informasi, kalau perlu dilengkapi peta, to do list, bahkan bisa juga diajak ke Disneyland bersama.
Orang Jepang juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang asing, jadi tidak perlu khawatir jika harus menjelaskan tentang pantangan makanan atau perbedaan kebiasaan.
Mereka pasti menghormatinya. Kuncinya satu : konsisten. Jangan sampai kehilangan kepercayaan hanya karena prinsip yang mencla-mencle.(Irene Dyah/Yoyok Prima Maulana)
(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR