A dan B berebut mainan baru milik A. Mama si A memaksa anaknya untuk mengalah, meminjamkan mainannya kepada B.
Tentu saja A meraung-raung tak rela.
Saya bengong. Bukankah itu mainan baru A? Kenapa tidak membiarkan A bermain dulu, baru setelah dia merasa cukup lantas meminjamkannya kepada B?
Kasihan benar dia harus berkorban untuk temannya. Tapi ya bagaimana lagi, itulah norma dalam masyarakat Jepang.
Seandainya A bertahan tidak meminjamkan mainannya, bisa jadi Mamanya yang akan “dihukum” oleh masyarakat.
Mamanya yang akan kena lirikan pedas atau sangsi sosial (alias dijauhi) karena dinilai tidak bisa mendidik anak.
Di Jepang, saat seorang anak minta maaf atas kesalahan yang besar (misalnya memecahkan kaca tetangga), orang tuanya biasanya menyertai minta maaf, bahkan sambil membawa aneka upeti tanda penyesalan.
Ini sedikit berbeda dengan kebiasaan di Barat, di mana seringkali orang tua memberikan tanggung jawab minta maaf itu sepenuhnya kepada anaknya yang bersalah.
Seperti pernah terjadi, anak saya ditubruk seorang anak Jepang dan anak bule yang berkejar-kejaran.
Si Anak Jepang datang bersama mamanya yang membungkuk-bungkuk minta maaf, sementara Si Anak Bule datang sendirian minta maaf dan orangtuanya cuma diam mengiringi dari belakang, memastikan anaknya menuntaskan kewajiban.
Saking takutnya merugikan kepentingan umum dan dinilai buruk, seorang kawan Jepang mengaku tidak berani mengajak anaknya makan di restoran, karena sangat aktif tidak bisa diam.
Dia takut anaknya bakal mengganggu tamu lain, atau justru membuat kotor dan kacau tempat makan tersebut.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR