Sebaliknya, kerbau-kerbau jantannya, yang jumlahnya dua ekor, mau saja kawin dengan betina kampung. Karena dianggap bisa membawa berkah, para pemilik kerbau betina senang saja kalau peliharaan mereka dikawini Kiai Slamet.
Meski sehari-hari diumbar begitu saja dan berkelana seenaknya di seputar Kota Solo, rombongan Kiai Slamet tak pernah diganggu atau hilang dicuri orang.
Memang pernah sekali waktu seorang abdi dalem keraton mencoba menggiring Kiai Slamet ke Pasar Pedan untuk dijual, tapi gagal karena keburu ada yang mengenalinya.
Umumnya orang Solo memang kenal dengan rombongan Kiai Slamet ini. Pedagang sayur dan buah dengan senang hati mengempani mereka sisa-sisa dagangan yang tak habis terjual. Sekalian minta berkah agar besok-besok bisa dapat untung lebih banyak.
Kadang terjadi, mungkin karena sudah lapar berat, tanpa permisi lagi Kiai Slamet langsung menyambar dagangan orang yang kebetulan dilaluinya di jalanan. Namun, ini bukannya membuat si pedagang jadi berang, tapi malah merasa senang.
Para petani pun gembira kalau kawanan kerbau bule ini berkubang di sawah mereka, meski sebagian padi yang ditanam jadi rusak karenanya.
Orang percaya tuah Kiai Slamet bisa didapat pula lewat kutunya, yang dipercaya manjur untuk menyembuhkan sakit batuk dan paru-paru. Bahkan kotorannya juga penuh khasiat.
Seperti diberi pupuk dan disemprot insektisida, sawah yang ditaburi tahi kerbau ini konon akan subur dan bebas hama.
Bisa membawa bencana
Sebagai emban tombak Kiai Slamet, tugas utama rombongan Kiai Slamet adalah mengiringi pusaka keraton ini pada upacara kirab, mengarak, pusaka.
Menurut tradisi, upacara ini harus dilakukan dua kali sebulan, setiap malam Jumat Kliwon dan Pahing, di samping upacara kirab besar tahunan setiap malam 1 Suro.
Dulu upacara kirab hanya dilakukan di seputar baluarti, tembok keraton, tapi sejak tahun 1970-an rute arak-arakan ini diperluas, melewati jalan-jalan besar di sekeliling kompleks keraton.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR