Disadari atau tidak, selama tiga abad zaman penjajahan, khazanah mental orang-orang Indonesia telanjur dicekoki dan ditanami program paranoid.
Bahkan dalam tiga dasa warsa terakhir ini, mentalitas itu dipertegas lagi akibat ulah para elit penguasa yang tak lain adalah anak negeri sendiri.
Proses mental itu semakin merasuk secara sistematis lestari dengan cara yang populer disebut devide et impera.
Agaknya, proses penanaman mental tersebut masih terus berlangsung, sampai-sampai seorang bocah yang masih berusia enam tahun pun, tatkala berhadapan dengan konselor berkulit kuning yang sesungguhnya orang Indonesia juga, bertanya dengan sinis, "Bapak Cina, ya?!"
Sejenak si konselor terganggu oleh pertanyaan yang menohok itu. Tentu saja bukan lantaran isi pertanyaannya, melainkan justru merasa amat heran bagaimana bisa seorang bocah sudah memiliki benih-benih program mental yang begitu tajam mempersoalkan perbedaan ras?
Kalau mau jujur, barangkali memang tidak terlalu sulit untuk merasakan denyut program mental paranoid dalam khazanah jiwa nyaris setiap orang Indonesia.
Program itu terus-menerus bekerja sampai melahirkan "wicara dalam" atau dalam istilah Robert Gerzon disebut inner talk yaitu gagasan yang selalu bergaung dalam khazanah jiwa semisal, Dia Batak, sedangkan aku Jawa. Atau, Dia Kristen, sedangkan aku Islam.
Bisa pula berkembang varian inner talk lain yang masih terangkum dalam program mental yang sama. Contohnya, Dia warga kelompokku, dan mereka bukan warga kelompokku. Atau, Ini kita, dan itu bukan kita.
Tidak bisa dipungkiri, ingar bingar proses pemrograman mental paranoid itu pada suatu saat menyuburkan rasa saling curiga antarinsan penganut agama, antafsuku, antarras, dan antarkaum.
Bahkan pada akhirnya orang Indonesia sendiri sangat sulit mengatakan secara tulus tanpa beban, Kita orang Indonesia.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR