Pada konferensi itu Yamamoto tegas menolak rasio kekuatan AL negara-negara maritim yang diputuskan oleh Washington Naval Treaty 1922. Menurutnya itu sangat merugikan Jepang.
Yamamoto termasuk pendorong digunakannya kapal induk sebagai senjata ofensif yang utama dari AL.
Tatkala menjadi menteri urusan AL (1936-1939), ia bersikap moderat dan termasuk tokoh yang menentang ekstremisme di kalangan militer Jepang.
Sewaktu kondisi politik internasional kian memanas, Laksamana Yamamoto yang terkenal cerdas dan rasional itu diangkat sebagai Panglima Armada Gabungan.
Dalam jabatannya ini, ia harus menyiapkan perencanaan alternatif manakala perang tak terhindarkan. Berbeda dengan banyak pimpinan militer Jepang lainnya, terutama dari AD.
Yamamoto menyadari betul konsekuensi perang dengan AS yang dilihatnya memiliki kemampuan industri luar biasa.
Satu-satunya yang mungkin dilakukan Jepang adalah menghantam pangkalan laut utama AS di Pearl Harbour, dan dari situ Jepang berharap meraih perdamaian lewat perundingan.
Sejarah memang mencatat Yamamoto berjasa bagi serangkaian kemenangan Jepang pada awal peperangan.
Namun ia pun juga ikut bertanggung jawab atas titik balik kemunduran pasukan Jepang, lewat perang laut di Midway dan Solomon.
Sebagai orang nomor satu yang paling diburu militer AS terkait serangan paling mematikan di Pearl Harbour , kematian Yamamoto sangat diinginkan negara Adi Daya itu.
Yamamoto akhirnya tewas pada 18 April 1943 tatkala pesawat yang membawanya disergap pesawat-pesawat pemburu AS di atas udara dekat Bougenvile.
Kematiannya meninggalkan “sepatu yang kebesaran” untuk dapat diisi oleh siapa pun.
Ia dikenang sebagai perwira AL yang cerdas, kompleks, berani, tetapi terkadang punya sifat yang kontradiktif.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR