Alhasil, saat hari raya seperti Idul Fitri, pengunjung di Candi Bahal I membeludak. Terlebih lagi setelah dibangun panggung hiburan dan kafe di kompleks ini.
Lingga tanpa yoni
Tak jauh dari Candi Bahal I (dikenal pula dengan sebutan Biara Portibi) terdapat gundukan. Di papan petunjuk yang ada di situ tertulis sebagai Candi Pulo. Beberapa pecahan artefak dari batuan tuff (sejenis batu apung) masih terlihat berserakan di sekitar gundukan yang telah ditumbuhi rerumputan liar.
(Baca juga: Muncul dari Gunung Berkabut, Gajah-gajah Ini Berziarah ke Candi Muara Takus saat Bulan Purnama Tiba)
Tertangkap kesan seolah tidak terpelihara meski Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh yang membawahi wilayah kerja Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara sudah menempatkan juru pelihara yang bertugas menjaga dan mengurusi tinggalan-tinggalan arkeologis itu.
Bersama Trio Bahal, Candi Pulo terletak di sepanjang tepian Sungai Batangpane. Secara administratif sebenarnya ini wilayah Padangbolak. Di samping keempat candi itu, masih ada Candi Sitopayan dan Candi Bara yang kini tinggal berupa gundukan dan diwamai serakan artefak di sekelilingnya.
Bergeser ke daerah aliran sungai (DAS) Sungai Barumun, kita bisa mengunjungi Candi Sipamutung, yang sesungguhnya lebih rumit dari Candi Bahal. Kompleks ini masih dalam tahap pemugaran dan belum banyak dikunjungi wisatawan.
Bisa jadi, akses jalan yang sulit ditempuh membuat namanya kurang terdengar, bahkan di kawasan Tapanuli Selatan sekalipun. Candi Sipamutung juga berlatar belakang Buddhis. Yang sedikit berbeda, candi perwaranya dibangun dari batuan tuff.
Untuk mencapai kompleks Candi Sipamutung, kita harus menyeberang Sungai Barumun dengan meniti jembatan gantung yang sudah mulai reot; sebuah puncak tantangan setelah sebelumnya kita menembus jalan kebun yang becek dan berlumpur tatkala hujan.
Setiba di seberang, yang sudah masuk wilayah Desa Siparau, kita akan menyaksikan benteng tanah yang terdiri atas dua buah gundukan yang saling berjajar dengan bagian tengahnya membentuk kanal.
(Baca juga: Mengenang Kejayaan Sriwijaya, Leluhur Toleransi dan Kekuatan Maritim Indonesia)
Sepertinya benteng itu dibangun untuk melindungi sesuatu, sedangkan kanal dimanfaatkan sebagai akses langsung menuju Sungai Barumun. Pada zaman dulu, sungai itu menjadi jalur perdagangan yang cukup ramai dikunjungi kapal-kapal asing.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR