Di Rimba, kata-kata berakhiran huruf “s” akan diucapkan dengan “y” demikian juga sebaliknya.
Misalnya, Nias (Niay) mengatakan baru saja menggambil air di sungas. Kata sungas berasal dari sungai jadi pengucapan “i” akan menjadi “s”. Tidak sedikit nama anak-anak rimba yang berakhiran dengan huruf “s”.
Salah penyebutan ini hukumnya adatnya tidak ada, akan tetapi protes dari si empunya nama akan melengking di telinga.
Kebiasaan memanggil dengan satu suku kata terakhir nama seseorang juga mengundang protes dari anak-anak Rimba. “Namo ke Pengendum, hopi Ndum,” protes Pengendum ketika terlalu sering saya panggil Ndum.
Bisa terbayangkan jika nama tersebut terdiri atas lebih dari enam suku kata seperti Jangat Pico atau Nyungsang Bungo, maka nama mereka akan terucap secara lengkap dalam setiap percakapan.
Sementara nama belakang seperti Tampung, Sunting, Sanggul, Tua, dan Bungo jarang disebutkan kecuali namanya sudah paket lengkap seperti Jangat Pico.
Relokasi = hilang
Laju motor sedikit melambat ketika Menosur menjelaskan bahwa perumahan papan yang berjejer rapi dengan tetangga seberang ribuan pohon sawit milik perusahaan merupakan perumahan Orang Rimba.
Dengan reaksi sedikit kaget saya kemudian mengamati sekeliling, terbaca Air Hitam. Jalan aspal yang banyak berlubang kami lewati sepulang dari turut dalam rapat kelembagaan adat di Satuan Pemukiman I (SPI).
“Dewa kami a hopi detong jika ramai, bau sabun dan dedikiron yoya butuh hutan. Hidup kami yoya mulai dari kami lahir mati berhubungan segelonya dengan pohon, namo kami a samo dengan kato dewa, namo kami erat kaitannya dengan agomo kami Orang Rimba” tutur Temenggung Celitay.
(Dewa kami tidak akan datang jika ramai, bau sabun dan ketika berdoa Orang Rimba butuh hutan. Hidup kami mulai dari lahir hingga mati semuanya berhubungan dengan pohon, nama kami sama dengan sabda dewa, nama kami erat kaitannya dengan agama kami Orang Rimba).
Saat perjalanan pulang menuju shelter guru di Bangko, pikiran melayang, mempertanyakan apakah Orang Rimba di rombong ini masih melakukan dedikiron untuk mendapatkan nama seperti adat nenek puyang (nenek moyang).
Betapa ketakutan ketika semua Orang Rimba sudah tidak lagi hidup di hutan, mereka bukan hanya akan kehilangan rumah (hutan) hingga aktivitas, tetapi juga kehilangan “nama” rimba mereka.
Ketika tak ada lagi hutan, maka tidak akan lagi terdengar nama Merimbun, Menosur, Nyungsang Bungo, Berapit. Nama-nama rimba yang terdengar sederhana akan tetapi sarat akan makna.
(Baca juga: Aktor Advent Bangun Meninggal, Karateka Tulen yang Pernah Dikeroyok 30 Preman)
(Ditulis oleh Tri Astuti, pengajar di Sokola Rimba, di Jambi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2016)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR