Kala itu sekitar tahun 1992, Pentagon mengontrak perusahaan ini untuk menyiapkan program dukungan bagi militer AS di luar negeri.
Meski hanya dalam bentuk studi, mereka sudah diberi dana ratusan miliar dolar.
(Baca juga: Kisah Tragis Para Tentara Bayaran AS yang Terbunuh di Fallujah Irak: Sudah Dibakar, Digantung Pula di Jembatan)
(Baca juga: Sepak Terjang Tentara Bayaran, Selalu Bergelimang Uang Namun Harus Selalu Siap Menumpahkan Darah)
Halliburton pula yang jadi rujukan pertama tatkala Washington memangkas jumlah tentaranya dari 1,5 juta orang menjadi setengahnya akibat meredanya Perang Dingin.
Mereka ingin Halliburton bisa menciptakan wadah mirip legiun asing bagi para mantan tentara itu.
Masalah ini dinilai krusial karena salah dalam menangani mantan tentara yang doyan perang sama saja artinya dengan bencana.
Tugas tersebut ternyata berhasil dikerjakan dengan baik. Alhasil, sejauh ini mereka selalu jadi rujukan utama manakala Pemerintah AS punya gawe besar di negeri orang.
Tak lama setelah mengantongi kontrak ratusan miliar itu mereka mendapat lagi dana senilai sekitar Rp50 miliiar untuk proyek pendirian pangkalan militer di sejumlah tempat rahasia.
Kedekatan Halliburton dengan kalangan militer rupanya banyak dipengaruhi oleh latar-belakang pemimpinnya sendiri.
Tak lama setelah Cheney meninggalkan perusahaan ini, posisinya digantikan oleh seorang perwira tinggi, yakni Admiral Joe Lopez.
Lopez adalah mantan komandan pasukan AS untuk wilayah Eropa Selatan.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR