Dengan hati-hati potongan-potongan tulang diangkat dari liang kubur dan dikumpulkan dalam sebuah kotak sederhana berlapis kain kuning. Tapi semua baru nampak lega ketika tulang tengkorak akhirnya ditemukan. Tengkorak kepala rupanya dianggap sisa tubuh yang paling penting.
"Bapak, Bapak ...," Benyamin Sangalang berkata lirih. la mengelus-elus tengkorak ayahnya, seolah yang bersangkutan masih hidup. Kakak, adik dan anak-anaknya mengikuti apa yang telah diperbuatnya.
Semua mengelus-elus batok kepala almarhum Sangalang, cikal bakal keluarga besar Sangalang yang kaya dan terhormat.
Pada waktu yang sama, peristiwa serupa juga berlangsung di belasan liang lahat lainnya di kompleks pemakaman Kaharingan di seberang Desa Teluk Nyatu itu.
Dalam pesta tiwah, tulang-belulang para leluhur yang sudah lama terkubur, oleh anak-cucu mereka digali lagi, diupacarai dan dimasukkan dalam sandung.
Meski si mati tinggal berupa tulang-tulang, yang seringkali bahkan tak lagi lengkap, para kerabatnya yang hidup tetap memperlakukannya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Sepotong demi sepotong sisa-sisa tubuh ini dicuci dengan sabun dan diberi minyak wangi.
Setelah dibersihkan, tulangbelulang ini disimpan dalam gong yang dibalik. Dilapisi kain merah yang bersih, tulang-tulang ini disusun rapi.
Tulang tengkorak diletakkan di tengah-tengah, dikelilingi tulang tangan, kaki dan Iain-lain.
Jika hendak dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, gong berisi tulang ini tak bisa diangkat sembarangan. la harus digendong memakai selembar kain, seperti orang menggendong bayi.
Diiringi nyanyian dan suara gendang para basti, para peserta tiwah memberi penghormatan yang terakhir pada si mati, sebelum tulang-belulangnya dimasukkan ke dalam sandung. Pada saat ini rasa cinta pada si mati diungkapkan dengan segala cara.
Ada yang sekadar mengelus-elus tulangnya, ada pula yang memberinya hadiah, baik rokok, uang sampai perhiasan emas.
Dengan selesainya upacara ngangkean, upacara memasukkan tulang ke dalam sandung, maka berakhir pulalah rentetan acara pokok dari pesta tiwah.
Begitu atap sandung ditutup rapat, tulang-belulang ini dianggap telah ikut naik ke lewu tatau, bergabung dan hidup kembali bersama arwah mereka yang telah ditiwahkan.
“Mungkin tak ada bangsa lain yang mencintai orang tua mereka sepergi orang Ngaju. Bukan waktu masih hidup saja anak-anak menghormati ayah dan ibunya. Bakti dan cinta kasih pada orang tua terus diwujudkan meski mereka telah lama mati dan tinggal berupa tulang-belulang yang tak berarti,” begitu seorang antropolog pernah berkomentar.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1988)
(Baca juga: (Foto) Suhu Anjlok Drastis, Rambut Bocah Ini Membeku, Bahkan Tangannya 'Retak')
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR