Tak aneh kalau tiwah jarang dilaksanakan sendiri-sendiri. Penduduk sebuah desa, atau beberapa desa yang berdekatan, biasa menyelenggarakan pesta bagi para arwah ini secara kolektif, agar ongkos yang besar bisa ditanggung bersama.
Pesta tiwah di Teluk Nyatu diikuti lima belasan keluarga dan meniwahkan 21 arwah. Menurut seorang anggota panitianya, seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk acara yang berlangsung sebulan penuh ini tak kurang dari Rp 50 juta.
Ini memang tergolong pesta tiwah yang besar. Soalnya, selain hewan yang dikurbankan jumlahnya sampai puluhan ekor, sebuah keluarga berada telah membuat sebuah sandung baru bernilai jutaan rupiah dari kayu ulin (kayu besi) yang kini makin mahal dan sulit dicari.
Arwah pun bisa tersesat
Ada belasan mata acara yang dilakukan selama pesta tiwah, mulai dari acara mendirikan sandung, sampai upacara meminta berkah pada Ranjing Hatala - begitu umat Kaharingan menyebut Tuhan - , yang dilakukan pada akhir pesta tiwah.
Tapi, upacara yang paling penting dan yang menjadi inti dan pesta tiwah, adalah upacara hanteran, yakni upacara mengantarkan para arwah ke lewu tatau.
Upacara ini dipimpin oleh ulama Kaharingan yang disebut upu atau tukang hanteran. Jika para arwah bisa diandaikan sebagai astronaut yang terbang dengan roket ke bulan, upu ini adalah operator yang mengendalikannya dari bumi.
Lewu tatau dilukiskan sebagai sebuah negeri yang kaya raya, berpasir emas, berkerikil intan dan manik-manik, di mana tulang-tulang tak lagi membusuk. Di sana para arwah akan hidup tentram, damai, gemah ripah lohjinawi.
Dalam upacara hanteran, upu membacakan doa-doa dan mengisahkan perjalanan para roh mulai dan desa asal mereka sampai akhirnya tiba di surga. Karena surga letaknya sangat jauh, maka kisah perjalanan ke sana pun jadi panjang.
Upacara hanteran berlangsung semalam suntuk, mulai setelah waktu makan malam hingga pagi keesokan harinya.
Sedikit saja upu melakukan kesalahan dalam berkisah, akibatnya arwah-arwah tidak bisa melanjutkan perjalanan atau tersesat entah ke mana karena mengambil jalan yang salah.
Misalnya saja, waktu para arwah sudah hampir sampai di bulan, konon pintu gerbang bulan tak bisa terbuka jika tukang hanteran sedikit saja kurang lengkap menceritakan kisah perjalanan sebelumnya.
Ini membuat perjalanan para arwah terhambat, dan baru bisa dilanjutkan jika tukang hanteran mengulangi sekali lagi kisah perjalanan panjang ini dari awal.
Ke surga naik perahu
Tugas seorang upu dianggap luar biasa berat bukan hanya karena ia menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas keberhasilan perjalanan para arwah ke lewu tatau, tapi juga karena ia sendiri harus menanggung risiko jika salah mengucapkan doa atau dalam menceritakan kisah perjalanan suci ini.
Konon, ia bisa sakit keras atau bahkan langsung meninggal dunia.
Tak aneh kalau seorang upu dibayar mahal. Untuk kerja satu malam di Teluk Nyatu, ia diberi imbalan lebih dari satu juta rupiah.
Ini belum termasuk macam-macam hadiah lain yang diberikan kepadanya oleh keluarga-keluarga peserta tiwah sebagai pernyataan terima kasih karena arwah ayah, ibu, kakek atau nenek mereka telah diantar ke tempat yang semestinya.
Perjalanan ke lewu tatau sangat jauh dan sulit, dan harus dicapai melalui lebih dari seratus sungai, danau, gunung, terusan dan lautan.
Setelah menyeberangi sebuah jembatan yang sangat tinggi, barulah para arwah yang ditiwah sampai di surga, yang disebut juga dengan Batang Tiawu Bulau Sating Malelak Bulau, tempat keemasan yang indah gilang-gemilang.
Meski perjalanan harus melalui sungai, danau, gunung dan laut, seperti layaknya kalau orang bepergian di dunia kita ini, penganut Kaharingan percaya bahwa surga itu adanya di lapisan langit yang ketujuh.
Kendaraan yang dipakai oleh para arwah adalah sejenis perahu yang disebut banama nyahu. Dalam perahu ini para arwah juga membawa segala kekayaan mereka, mulai dari binatang ternak, tempayan, segala perhiasan sampai budak mereka masing-masing.
Jadi, makin banyak arwah yang ditiwahkan, tentunya makin sarat juga muatan perahu.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1988)
(Baca juga: Wanita Ini Diceraikan Suaminya Gara-gara Hanya Mandi dan Berhubungan Seks Sekali dalam Setahun)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR