Ketika ia bercerita pada kakaknya, ternyata sang kakak mengunyah busa selama kehamilan pertamanya. Itu sangat aneh.
Mereka pun jadi tertawa dan menganggap kondisi itu adalah keturunan di keluarga mereka.
Kecanduan Rebecca akan kapur tulis terus berlanjut hingga ia melahirkan putranya, Reuben, yang lahir sehat dengan berat 3,84 kg pada 2 November 2017 lalu.
Sebulan kemudian, ibu dua anak itu mencoba makan sepotong kapur tulis lagi tetapi meninggalkan rasa yang tidak enak di mulutnya dan hampir muntah.
Ia bilang, mungkin orang-orang berpikir ia gila. Mereka jangan langsung menghakimi, sebelum mereka sendiri merasakan mengidam yang aneh.
Karena itu, Rebecca menyarankan bila ada wanita yang mengalami pengalaman serupa, mereka harus minta nasihat dari bidan atau dokter kandungan mereka.
“Tak pelak lagi ada alasan dasar mengapa tubuh kita mengidam sesuatu, aku lega sekali bayiku terlahir sehat,” tutup Rebecca.
Masih dilansir dari situs The Sun, seorang dokter dari SUN, CaroL Copper, menyarakankan ibu hamil untuk menjaga kesehatan dengan makan makanan yang sesungguhnya.
Menurutnya, ini yang harus diketahui:
1. Pica berarti makan sesuatu yang bukan makanan dan itu sering terlihat pada anak-anak dan calon ibu.
2. Hampir seperempat wanita hamil mengalami pica. Ada yang merahasiakan ngidamnya karena takut tidak disetujui, tetapi banyak yang mengidam benda-benda untuk memuaskan keinginan akan hilangnya suatu gizi.
3. Dalam kasus Rebecca, mengunyah kapur tulis diduga karena ia kekurangan kalsim tetapi kebanyakan kasus masih menjadi misteri.
4. Yang harus diingat, banyak makanan mengandung tinggi zat besi, kalsium, dan mineral lainnya yang diperlukan untuk diet yang seimbang. Kebanyakan orang berpendapat rasa makanan itu lebih enak.
5. Lebih aman bila makan makanan yang benar. Sementara pica ada resiko tertelannya racun, seperti bahan kimia yang digunakan dalam proses pembuatannya di pabrik.
(Baca juga: (Foto) Suhu Anjlok Drastis, Rambut Bocah Ini Membeku, Bahkan Tangannya 'Retak')
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR