Intisari-Online.com - Membedah pulau Sumba akan meninggalkan pesan bahwa Sumba adalah pulaunya para arwah.
Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian.
Sumba juga pulau padang savana, dengan kuda-kuda liar yang kuat dan tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah, dan pulau berbatu warisan leluhur.
Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.
BACA JUGA: Menghitung Biaya Wisata Backpacker ke Raja Ampat
Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola”, yang berarti sejenis lembing kayu. Lembing ini digunakan untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.
Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.
Jadi, pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.
Acara budaya ini diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka.
Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Pasola merupakan puncak dari rangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Upacara adat itu dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik.
Dalam Pasola, dua kelompok berkuda melakukan “perang-perangan”. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira 1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR