Dalam alam kesurupan, perasaan si penjoget menjadi seperti "mengambang".
Dia sadar kondisinya, mendengar dan melihat orang-orang sekelilingnya, tapi tidak ada perhatian.
Konsentrasinya hanya terpaku pada instruksi-instruksi tari yang dibawakannya.
Dia seperti menghipnotis diri dan setiap gerakan sepertinya ada yang menggerakkan secara otomatis.
Realitas ini menurut Suryani, berbeda dengan yang dialami oleh orang-orang Barat yang belajar menari di Bali.
Mereka tak memiliki perasaan semacam itu. Usai pergelaran cuma perasaan senang dan puas semu yang mereka rasakan.
Tapi kalau penari Bali puasnya tak terlukiskan. Bahkan, dalam tarian keagamaan di pura, kepuasan itu berwujud ketenangan batin yang masih berlangsung sampai tiga hari.
(Baca juga: Dan Halutz, Jenderal yang Membuat Malu Militer Israel Setelah Kalah Bertempur Melawan Hizbullah)
Suryani memperkirakan penabuh gamelan Bali yang mengiringi suatu tarian atau sendratari melakukan hipnoterapi (terapi untuk membuat seseorang kesurupan) pada si penari.
Perangkat gamelan mereka jadikan salah satu media untuk mengekspresikannya. Bisa jadi, ini pula yang terjadi pada pertunjukan debus atau kuda lumping.
Pertunjukan debus yang dipimpin seorang syeh juga disertai alunan alert musik sederhana untuk mengiringi para pezikir yang selalu menyanyikan lagu puji-pujian kepada Tuhan.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR