(Baca juga: Di Tengah Laut, Secara Mistis, Sultan HB IX ‘Meramal’ Akan Terjadinya Bencana G30S)
Ada sejak bayi
Pertunjukan seram di kedua bentuk kesenian daerah itu masih berkisar pada adu kuat antara tubuh manusia dengan benda tajam.
Pada debus umpamanya, orang pastilah merinding saat menonton pemain menyayat lidah, manor air mendidih, berguling di atas duri, dipukul dengan gada, memanjat tangga golok tajam, atau menginjak pecahan kaca.
Sedangkan pada kuda kepang, pemain mempertontonkan "kesaktiannya" dengan mengunyah atau menelan kaca bola lampu, makan pisau silet, atau dipecut dengan keras.
Semua pemain adegan seram itu saat beratraksi selalu dalam keadaan kesurupan, yang oleh sebagian orang diartikan sebagai "kemasukan setan".
Hubungan antara trance yang dialami pemain dengan kemampuannya yang di luar ukuran orang normal ini ternyata bisa diterangkan secara ilmiah.
Dr. Luh Ketut Suryani—ketika diwawanca Intisari tahun 1992 berusia 48 tahun dan berpangkat kepala bidang Laboratorium Psikiatri Universitas Udayana, Bali—menyatakan, trance pada galibnya suatu perubahan keadaan kesadaran manusia yang meliputi perubahan kognisi, persepsi, dan sensasi.
Dengan perubahan itu, seseorang akan memiliki kemampuan di luar kebiasaan manusia normal.
Pada prinsipnya semua manusia memiliki bibit untuk bisa mengalami trance. Contoh paling mendasar, bayi tiba-tiba tertawa atau menangis.
Menurut Suryani, ini vmuncul karena adanya indera keenam yang memungkinkan dia memiliki kemampuan trance.
(Baca juga: Sedih, Seekor Monyet Kecil Ini Pingsan Gara-gara Hirup Kopi yang Ia Curi)
Dengan kemampuan itu, dia bisa mengirim perasaan ke ibunya yang jauh dari tempatnya. Inilah kemampuan lebih yang dimilikinya.
Pada umur sekitar 10 tahun logika mulai masuk. Sejak itu kehidupan sehari-hari cenderung mengajarkan penggunaan logika. Penggunaan insting mulai ditinggalkan.
Dengan sendirinya insting yang sebenarnya adalah kemampuan trance itu, lama-kelamaan menjadi tumpul karena tak pernah digunakan.
Padahal, "Kalau bibit kemampuan trance itu terus ditumbuhkan, diajari meditasi sejak kecil, sementara logika tetap dijalankan, mungkin kita akan menjadi manusia yang seimbang," ujarnya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR