Advertorial
Intisari-Online.com- Kematian John Lennon 8 Desember 37 tahun silam di luar gedung apartemen Dakota New York City melegendakan namanya sebagai musisi intelek.
Hal menarik yang patut diperhatikan adalah tersangka pembunuhan yang juga fans berat John Lennon itu dinyatakan menderita gangguan jiwa.
Chapman bahkan menganggap dirinya sebagai John Lennon.
"Chapman dalam wawancara bilang, 'Ya Tuhan, John Lennon seharusnya tahu adanya dua orang yang sama, makanya saya harus mengurangi supaya hanya ada satu,'" kata psikiater Robert Marvit.
Baca Juga:Perang Enam Hari, Mengingat Kembali Sejarah Jatuhnya Yerusalem ke Tangan Israel
Kronologi pembunuhan John Lennon
Setelah menanti beberapa jam untuk mendapatkan tanda tangan Lennon di album Double Fantasy miliknya, Chapman kembali menunggu selama enam jam.
Dia lantas menembak Lennon hingga terkapar tepat setelah turun dari mobil. Chapman tetap tenang.
Bahkan dengan santainya, ia menjatuhkan pistol lalu lanjut membaca The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger.
Ia menyerahkan diri tanpa perlawanan kepada polisi, dan mengaku memang dirinyalah yang membunuh Lennon.
Membaca buku terlarang
The Catcher in the Rye (1952) karangan J.D Salinger sendiri merupakan salah satu dari buku terlarang di Amerika. Buku ini dianggap mengandung banyak kata yang tidak senonoh.
Kata-kata kasar muncul sebagai ekspresi Holden Caulfield (tokoh utama dalam novel tersebut) atas rasa frustrasinya terhadap kehidupan. Sudut pandang dalam cerita ini menggunakan orang pertama tunggal.
Berisi bermacam-macam pergumulan pikiran Caulfield tentang kekerasan, pembunuhan, bahkan bunuh diri. Buku ini sangat tidak dianjurkan untuk dibaca oleh penderita sakit jiwa.
Baca Juga:'Coditany Of Timeness', Album Black Metal Pertama Ciptaan Robot, Mari Kita Dengarkan!
Namun, jika cermat The Catcher in the Rye sebenarnya memiliki sisi positif.
Terlihat dari cara Caulfield menghadapi masalah hidupnya dengan bertanggung jawab.
Indonesia sendiri menerjemahkan novel ini dengan judul yang sama.