Advertorial
Intisari-Online.com - Selama bertahun-tahun Hartini Soekarno bagaikan ratu tanpa mahkota di Istana Bogor. Tapi mengapa ia menolak seandainya diizinkan kembali tinggal di sana?
--
“Waktu itu Bapak mampir ke Salatiga, ketika mau buka (meresmikan) Masjid Syuhada di Yogyakarta," kenangnya mengenai awal pertemuannya dengan Bung Karno. "Saat kasih tangan (bersalaman), kok lama. Lalu Bapak bertanya, 'Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?'"
Bagi Bung Kamo pun pertemuan itu meninggalkan kesan mendalam, sehingga ia mengirimkan orang suruhan dan surat untuk Hartini. Rupanya hati keduanya sudah saling bertaut.
(Baca juga: Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
Toh memutuskan mau menjadi pendamping orang nomor 1 di Indonesia saat itu bukanlah sesuatu yang mudah bagi wanita sederhana ini.
"Saya minta restu dulu pada orang tua. Kata orang tua saya, 'Dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden. Pikirkan dulu, tidak gampang. Opo kowe kuat?'" kisahnya.
Setelah dua tahun, akhirnya Hartini memutuskan menerima pinangan Bung Karno dengan segala konsekuensinya. "Tapi dengan syarat: Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita," sambungnya.
"Bersilat" di Ruang Raja
Akhirnya, mereka menikah pada tanggal 7 Juli 1952. Perbedaan usia di antara keduanya 23 tahun. Dua tahun setelah menikah, Hartini diboyong ke Bogor. Saat itu, menurutnya, kondisi Istana Bogor baik sekali, karena Bung Karno sering mampir ke sana, sekalian juga ke Istana Cipanas.
Namun Hartini tidak tinggal di istana. "Kami tinggal di paviliun. Hanya kalau ada tamu, kami ke atas (ke istana). Setelah acara selesai, kami pun pulang. Sekali-sekali kami makan atau tidur di sana, tetapi pada umumnya istana itu kosong."
Jadi tidak heran jika banyak beredar cerita bahwa istana itu ada "penghuninya". Menurutnya, pernah ada tamu yang mendengar suara gebyar-gebyur di kamar mandi, padahal tidak ada orang mandi.
(Baca juga: Kemal Idris, Jenderal Sampah Anti-Sukarno yang Pernah Arahkan Moncong Meriam ke Arah Istana Negara)
Bahkan ia pernah bersama Bung Karno, Pak Harjo (kepala rumah tangga), serta para pengawal melihat seorang tamu yang dia lupa namanya, "bersilat" begitu tamu itu memasuki Ruang Raja.
"Engkau ngapain?" tanya Bung Karno.
"Habis, saya mau diserang, Mas?" sahut tamu tersebut. Namun orang itu juga tidak bisa menceritakan bagaimana tampang penyerangnya, karena matanya terpejam.
Hal ini, menurut Hartini, "Mungkin karena sejak zaman para gubemur jenderal sudut-sudut tertentu istana selalu diberi sesajen. Saya sendiri tidak tahu persis di mana, tetapi para jongos yang sudah bekerja sejak lama itu tahu persis."
Hartini mengakui tidak berani tinggal sendiri di dalam istana. "Kalau paviliun yang saya tinggali itu 'kan bangunan baru. Setahu saya, bagian istana yang singit (angker) itu hanya Ruang Raja tersebut.
Tetapi di Kebun Raya banyak tempat yang angker. Karena itu setiap kali akan mengadakan acara, kami selalu minta izin kepada Mbah lepra yang dimakamkan di Kebun Raya.
Saya sendiri tidak tahu slametannya apa, pokoknya banyak macam. Karyawan, apalagi yang tua-tua, sudah tahu semua."
(Baca juga: Saat 'Pahlawan' Jadi Lawan: Tangis Bung Karno saat Harus Tanda Tangani SK Hukuman Mati Kartosuwiryo)
Kemeja dan bahan celana untuk pacar
Dalam hal seni Bung Karno memang berselera tinggi, sehingga Hartini tidak berani mengubah-ubah tata letak dekor istana. "Paling-paling vas atau barang-barang antik, saya masih berani. Tetapi kalau lukisan, saya sama sekali tidak berani mengusiknya.
Bapak sudah tahu persis setiap koleksinya. Bahkan ketika mau tidur pun ia kadang-kadang bertanya. ‘Tin, saya punya lukisan ini-ini yang saya letakkan di sana-situ, sekarang di mana ya? Kok saya tidak melihatnya?' Benar saja ketika kami mengeceknya pada pukul 05.00 keesokan harinya lukisan itu ternyata masih ada."
"Lukisan kesayangan Bapak itu banyak sekali, sehingga sulit disebutkan satu per satu," ujar wanita yang kini berusia 72 tahun ini. Sementara lukisan Sarinah, yang namanya kemudian diabadikan pada toserba pertama di Jakarta, adalah hasil karya Bung Karno sendiri pada 2 November 1958.
Lukisan itu dibuat saat Bung Karno sedang berada di Bali. Ketika itu seorang wanita lewat dibonceng dengan sepeda oleh pacarnya. Entah mengapa, Bung Karno merasa tertarik untuk menjadikan wanita itu sebagai model lukisannya.
Mereka pun diminta berhenti. Gadis itu diminta mengganti kebayanya dengan yang lebih bagus, yang entah dari mana dipinjam oleh Bung Karno. Rambutnya kemudian dirapikan.
Setelah selesai dilukis, Bung Karno bertanya apa yang diinginkan gadis itu sebagai imbalan. Ternyata wanita lugu itu cuma minta kemeja dan bahan celana untuk pacarnya.
Permintaan ini diluluskan oleh Bung Karno yang juga menyertakan sedikit uang. Lukisan itu kini masih tersimpan di Istana Bogor.
Salah seorang seniman yang sering datang ke Istana Bogor adalah mendiang Basoeki Abdullah. Bahkan jika datang ke rumah Basoeki, Soekarno sudah tahu kebiasaan si pelukis, yaitu menyimpan hasjl-hasil karya yang terbaiknya.di kolong ranjang, sehingga Bung Karno memintanya untuk mengeluarkan lukisan-lukisan tersebut.
Hartini juga pernah menjadi model pelukis beken ini. "Saat itu Basoeki Abdullah melihat saya keluar dengan berkebaya hijau muda. la langsung berkata, 'Nah, saya mau melukis Ibu dengan pakaian ini.' Lima belas menit lukisan itu jadi," jelas Hartini.
Lukisan itu kini masih menghiasi ruang tamu rumahnya di Jl. Proklamasi, Jakarta.
Mengomentari patung Si Denok yang terkenal itu, Hartini mengatakan, memang modelnya khusus, tetapi bukan karyawan istana. Pembuatnya Trubus. Menurutnya, dalam hal patung Bung Karno lebih banyak membeli jadi, misalnya The Hand of God yang kini menghiasi halaman belakang Istana Bogor.
Makannya muluk
Selain lukisan dan patung, Bung Karno juga senang pada wayang dan keroncong. "Sebulan sekali wayangan. Karena saya juga orang Jawa, saya mengerti wayang, tapi tidak hafal seperti Bapak. Jadi menjelang wayangan, saya belajar dulu, karena takut kalau Bapak bertanya. Kalau saya tak dapat menjawab, Bapak akan berkomentar, 'Wong ]owo, ora Jowo!'"
Selain wayang, Hartini juga harus mempelajari keroncong. "Bapak senang keroncong sejak semasa di pembuangan (Bengkulu dan Ende). Jadi beliau pintar sekali menyanyi keroncong. Mana suara saya begini, sampai anak-anak menertawakan. Meskipun demikian saya harus ikut menyanyi, kalau ndak 'kan ndak enak. Istri harus dapat menyesuaikan, sehingga kalau diajak itu enak. Saya tidak dapat main golf, karena Bapak tidak suka. Paling-paling kami bersepeda saja keliling Kebun Raya."
Untuk belajar menyanyi keroncong, Hartini sampai memanggil Fetty Fatimah dan Titik Puspa. "Saya senang menyanyi, senang mendengarkan, tapi saya toh bukan penyanyi. Jadi ketika semua tamu disuruh menyanyi, saya pun sudah kongkalikong dengan Bapak. Dia akan bertanya, 'Tin, nanti engkau mau nyanyi apa?' 'Wah, Sapulidi aja deh.'
Tapi saya katakan kepada Fetty Fatimah, 'Nanti kalau saya akan menyanyi, beri saya komando, ya kapan harus mulai.' Kalau memberi komando sambil mesem 'kan tidak kentara," kata Hartini membuka rahasia.
Acara keroncongan ini tidak tentu. "Kalau tidak ada film bagus, tak ada acara, malam Minggu santai, kami keroncongan atau lenso. Kalau lenso, saya bisalah," katanya. Yang menjadi grup pemain keroncong itu ya para pengawal presiden sendiri.
Hartini mengakui dirinya banyak belajar dari Bung Karno. "Dari bodoh sampai pintar. Misalnya saja makan. Jika ada state dinner, saya harus belajar. Saya juga memanggil guru bahasa Inggris. Meski pada dasarnya saya sudah bisa, saya toh harus belajar percakapan yang halus, yang tinggi. Kalau makan juga harus tertib.
Sendoknya ada lima, dipakai dari luar ke dalam. Biasanya saya tengok kiri-kanan dulu, meniru orang lain yang sudah biasa. Maklumlah, meski bukan dari desa, saya 'kan rakyat biasa yang masuk istana," akunya terus terang.
Untuk para tamu negara biasanya dihidangkan makanan Eropa, paling-paling ditambah sate. "Mereka sendiri biasanya bisik-bisik kepada duta besarnya masing-masing supaya dikirimi makanan khas negera mereka sendiri ke kamar. Sama saja dengan kami.
Kalau jamuan makan resmi, kami makan hanya untuk formalitas. Ambil sedikit saja. Di rumah kami baru menikmati makan. Bapak memang biasa, di rumah makannya muluk (tanpa sendok-garpu)."
Makanan kesukaan Bung Karno antara lain botok, buntil, sayur asam, rawon, pecel.
"Dalam soal makanan ini saya mesti turun tangan sendiri, karena Bapak itu rewel. Kalau mau makan mangga pun, jika belum selesai makan, jangan dikupas, nanti bau angin dan tidak enak. Begitu pun dengan sambal, baru diulek jika Bapak sudah duduk. Cobeknya dialasi piring yang bagus dan diletakkan di meja."
Hartini mengaku dirinya bisa masak, "Tapi terus terang masakan saya tidak sedap," katanya.
Saling memanjakan
Jika Bung Karno mau ke Bogor, biasanya Hartini akan bertanya, "Pak hari ini mau tindak mriki, dahar menopo nang dalem?" Dalam berbicara dengan Bung Karno, Hartini selalu berbahasa kromo inggil.
Kesederhanaan Bung Karno lainnya tergambar dari penuturan sang istri tentang kebiasaannya berpakaian. "Kalau akan keluar, pakaiannya harus rapi. Tidak boleh kepanjangan atau kependekan setengah senti pun! Tapi kalau di rumah, kepanasan, ia cukup pakai kaus oblong cap Lombok buatan Hongkong dengan celana piyama."
Meskipun tinggal di lingkungan tersendiri, Hartini tetap bersosialisasi dengan masyarakat luar seperti dengan bupati, walikota, residen dengan istri masing-masing yang sering berkunjung ke kediamannya.
"Bila Bapak tidak ada, saya juga senang berjalan-jalan ke luar bersama empat orang pengawal: dua wanita, dua pria. Biasanya beli baju ke toko. Salah satu toko favorit saya waktu itu adalah Toko De Zon (kini Toko Sinar Matahari di. Jl. Kapten Muslihat, Bogor)."
Bung Karno selalu menginginkan Hartini tampil berkain kebaya. "Kalau dulu ada empat tamu, ya saya harus empat kali ganti," katanya. Baru setelah Bung Karno wafat, Hartini mulai memakai rok.
Dalam mendidik anak Hartini tidak berlebihan. "Kegemaran mereka mengendarai traktor pemotong rumput sambil makan-makan. Mereka juga bermain bersama anak-anak tukang kebun, anak pelayan, main voli, dsb. Anak-anak dari luar juga boleh main di sini, asalkan melewati sekuriti untuk dicatat namanya," kenangnya.
Selain itu kesibukan rutin Hartini, pagi-pagi sembahyang, lalu jalan-jalan. Pukul 09.00 atau 10.00 ia menerima tamu, diikuti acara-acara peresmian atau ke RS PMI. "Saya 'kan aktif di rumah sakit," katanya.
"Apalagi ketika itu saya mudah sekali mencari dana. Tinggal telepon, orang-orang kaya tak keberatan menyumbang," sambungnya.
Selama tinggal di Bogor berbagai tamu negara datang dan pergi silih berganti. Meskipun Bung Karno sudah tiada, persahabatan Hartini dengan beberapa mantan tamunya masih terjalin sampai kini.
"Hubungan saya dengan Putri Michiko dan Pangeran Sihanouk sampai sekarang masih terjalin dengan baik. Pangeran Sihanouk setiap kali datang selalu mengundang saya. Malah pernah ia akan berkunjung ke rumah saya, tetapi saya katakan, 'Jangan deh. Lebih baik saya yang ke guest house. Nanti repot,'" katanya.
Jumat memang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Hartini bersama anak-anaknya, karena pada hari itulah Bung Karno mulai menginap di Bogor dan baru kembali pada Senin pagi.
"Tiap hari Jumat, pukul 16.00 saya sudah siap dan rapi. Sudah bebenah diri luar-dalam (bersih-bersih, minum jamu, tirakat). Sebagai anak presiden, Taufan dan Bayu sudah dibiasakan memberi hormat ala militer saat ayahnya datang. Tapi namanya juga anak kecil, sering kali mereka sudah menurunkan tangannya, sebelum sang ayah menurunkan tangannya lebih dulu.”
Dalam kehidupan berumah tangga, baik Hartini maupun Soekarno sama-sama memanjakan pasangannya. "Kalau Bapak datang saya lepas sepatunya. Kalau mau sembahyang, sajadah sudah saya gelar. Pakaiannya pun sudah saya sediakan. Saya yang membuka jasnya."
Menurutnya, kalau orang lain mungkin akan berkata copot saja sendiri, ngapain. "Tapi mungkin itu salah satu yang orang lain tidak punya, tapi saya punya," katanya.
Setelah itu, Hartini akan mengeluarkan rujak parut dan cendol kegemaran Bung Karno. "Pokoknya, I'll do my best," katanya.
Bertengkar di kamar
Sejak awal Hartini tahu pasti akan posisinya. Karena itu ia tidak bisa menuntut kehadiran Bung Karno sepenuhnya. Saat senggang mereka kadang bermain kartu 41 dengan bayaran korek api.
Tapi laiknya rumah tangga biasa Hartini dan Soekarno pun pernah terlibat pertengkaran. Kalau akan bertengkar kami masuk ke kamar, supaya tidak ketahuan ajudan dan anak-anak. Kami biasanya tidak lama bermusuhan.
Sifat saya, kalau bertengkar semuanya saya keluarkan, ribut. Setelah itu selesai. Saya bukan pendendam. Saya tidak tahan saling diam. Tapi Bapak tidak pernah main tangan (memukul) pada saya," katanya.
Dalam mendampingi Bung Karno, 'Hartini bertindak sebagai een moedertje, een geliefde, een kameraad (seorang ibu, seorang kekasih, seorang teman). Een geliefde, artinya, "Jika di tempat tidur kita 'kan "pelacur" bagi suami. Kita melayani permintaan mereka. Apa pun. Sementara een kameraad maksudnya, jika di luar saya bukannya minta digandeng terus ke mana pun."
Kalau kebetulan sedang ada acara tari lenso Hartini akan bertanya kepada Bung Karno mengenai wanita yang akan menemaninya berdansa. "Biasanya saya akan menggandeng dan mengantarkannya ke wanita yang ditunjuk Bapak."
Apakah Hartini tidak pernah cemburu melihat suaminya yang banyak dikelilingi dan dikagumi wanita? "Pertama-tama cemburu itu pasti ada, tapi meski saya ribut Bapak toh tetap begitu," katanya.
"Jika Bapak punya pacar," katanya terus terang, ketika ditanya hal apa yang paling menjengkelkannya.
Paviliun Istana Bogor memang menyimpan banyak kenangan bagi Hartini. Di situlah Taufan dan Bayu lahir. Di situ pulalah ia melewatkan hari-hari terindah bersama Bung Karno. Meskipun demikian, "Saat harus meninggalkan tempat itu, anak-anaknya tidak terlalu merasakan, karena masih kecil. Mereka senang saja. 'Ini sudah rumah sendiri, ya Bu? Dulu kita 'kan nyewa,'" kata mereka.
Semenjak meninggalkan Istana Bogor tahun '60-an, Hartini memang sudah beberapa kali menginjak tempat itu kembali. Menurutnya, kondisinya kini lebih baik daripada dulu, karena perabotannya baru. Seandainya memiliki kesempatan untuk tinggal kembali di sana maukah ia mengulang saat-saat indah?.
"Saya rasa saya tidak kuat, sedih. Lebih baik tidak deh. Daripada saya ngngis terus dan sakit jantung saya kumat nanti," kata wanita yang mewakili keluarga Soekarno saat Bung Karno dianugerahi gelar proklamator oleh pemerintah.
"Saya tak pernah menyesal menjadi pendamping Bung Karno, karena saya merasa pengorbanan yang saya berikan masih seimbang dengan kebahagiaan yang saya peroleh," katanya. (LR Supriyapto Yahya/Lily Wibisono)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1996)