Kondisi tersebut membuat orangtuanya menyekolahkannya ke Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jimbaran di Bali.
Di masa awal pendidikannya, Widiasih lebih sering mengikuti perlombaan cerdas cermat.
"Sering diminta mewakili YPAC," katanya kepada Kompas.
‘Berbeda’ dengan kebanyakan anak-anak tentu membuat Widiasih pernah mengalami kekecewaan.
“Waktu kecil iya, merasa sendirian (dengan kondisi seperti itu). Tapi setelah beranjak dewasa, pandangan itu berubah. Pandangan hidup saya pun mulai berbeda. Sekarang saya hanya mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepada saya,” kata anak kedua dari empat bersaudara itu.
Bahkan dirinya semakin bersemangat mengukir prestasi.
Perunggu Paralympic Rio 2016 juga emas ASEAN Para Games 2017 pun tak lantas membuat Widiasih puas.
Ia mengaku akan terus bertanding dan berlatih. Terlebih, menurutnya, angkat berat tak terbatas oleh usia.
Meski belum ada rencana ke depan selepas tidak lagi menjadi atlet, dari uang hadiah yang terkumpul Widiasih bermimpi memiliki sebuah gym di Bali.
Pusat kebugaran itu ia dedikasikan untuk sesama difabel.
Ia pun selalu menyemangati sesama kaum difabel untuk tidak pernah menyerah.
“Semangat! Gagal, coba lagi. Jatuh, bangun lagi!”
(Agus Surono)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR