Perlu dicatat bahwa, medali yang dipersembahkan oleh Widiasih menjadi satu-satunya medali yang diperoleh kontingen Indonesia di ajang tersebut.
Angka 95 kilogram seolah lekat dengan Widia.
Sebab di angka itulah dirinya berhasil meraih medali, termasuk saat dirinya berhasil memecahkan rekor nasional (Pekan Paralimpiade Nasional 2016).
Tentu itu hanyalah hasil akhir yang lahir dari sebuah proses panjang.
Terkilir, salah urat, otot sobek, sampai tulang selangka yang bergeser adalah sebagian proses yang dialami selama ini.
Latihan menjadi bagian dari proses panjang itu. Saat masih bersekolah waktu mainnya dikonversikan menjadi latihan.
“Pagi sekolah, sore latihan,” kata Widiasih.
Meski merasakan kehilangan waktu remajanya, namun ia tetap mensyukuri apa yang sudah ia lakoni.
Berdampingan dengan Kakak
Lahir di Karangasem, Bali, pada 12 Desember 1992, Widiasih harus kehilangan fungsi kaki karena terserang polio pada usia tiga tahun.
“Kakak saya juga mengalami hal yang sama. Kami sama-sama diajak ke dokter berbarengan. Disuntik juga barengan,” kata Widiasih, tentang kakaknya I Gede Suantaka yang juga atlet difabel angkat berat.
Sejak kena polio Widiasih harus hidup dengan kursi roda.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR