Setelah itu, ia menemukan lebih banyak fosil, termasuk plesiosaurus, ikan, invertebrata, dan pterosaurus.
Bebeberapa pengunjung yang datang ke toko fosilnya mencatat Anning sebagai perempuan dengan kecerdasan serta pengetahuan tentang anatomi.
Pakar-pakar geologi dan paleontolog yang sedang bersemi ramai-ramai mencarinya.
Ketika Anning meninggal pada usia 47 tahun karena kanker, Geological Society of London memberi penghormatan tertinggi buatnya. Sebuah penghormatan yang belum diberikan lagi kepada perempuan selama 72 tahun.
Penghormatan adalah satu hal, tapi pengakuan formal adalah hal lainnya. Dan di sinilah ironi itu ada.
Temuan Anning yang masuk ke museum justru tidak menyertakan namanya, melainkan nama orang yang membeli darinya. Para peneliti juga jarang yang mengakui kontribusinya.
Bahkan hari ini, perempuan bermata tajam itu lebih dikenal sebagai “penjual kerang di tepi pantai yang pintar”.
James Hutton: rock star yang tak mau kompromi
Lahir di Edinburgh pada puncak Pencerahan, James Hutton adalah seorang pengamat yang berbabakt.
Dengan ketrampilannya itu, ia hendak merumuskan teori pertana tentang deep time, dan tentang bagaimana permukaan planet kita terus mendaur ulang dirinya sendiri.
Saat itu, gagasan tersebut dianggap sesat.
Tapi bagaimanapun, teori Hutton menjadi dasar geologi modern, mengilhami Charles Darwin dan teknik lempeng tektonik, vulkanologi, geobiologi, Hipotesis Gaia—pandangan yang muncul pada akhir abad 20 tentang planet sebagai satu organisme tunggal.
Mata tajamnya juga membuatnya “melenceng” dari arus zaman itu. Setelah masuk sekolah kedokteran pada 1740-an, Hutton memilih menjadi petani. Ia mengelilingi seluruh Inggri sembari mempelajari teknik pertanian terbaru, tapi ia justru tertarik dengan lansekap yang ia jelajahi itu.
Ia menjadi terobsesi dengan ketidakteraturan pada bebatuan.
Bumi, menurut teori Button, bukanlah hal yang statis, tapi sesuatu yang dinamis. Benua naik, lalu turun. Siklus itu berulang lagi jutaan bahkan miliaran tahun.
Waktu itu, istilah ilmuwan belum ada, yang ada filsuf alam. Waktu it ia percaya bahwa bumi baru berusia 6.000 tahun, dan tentu saja mendapatkan kritikan yang amat pedas.
Meski begitu, teori ini akhirnya menjadi umum—dan menjadi pondasi banyak ilmu pengetahuan yang disebutkan di awal.
Henrietta Lacks: simbol garis sel
Ketika ia meninggal pada usia 31 tahun karena kanker serviks, Henrietta Lacks hampir tidak dikenal oleh siapa pun.
Organ-organnya, tanpa persetujuan keluarga dan Lacks sendiri, dikumpulkan dan digunakan untuk menciptakan garis sel manusia pertama yang diturunkan.
HeLa, nama garis sel itu, terbukti menjadi sangat tak ternilai bagi penelitian kanker, dan telah menjadi landasan puluhan ribu percobaan.
Meski begitu, para periset nyaris tidak berusaha melindungi identitas Lacks—seolah-olah mengumpulkan selnya sama seperti mengumpulkan sel tikus.
Saat buku best seller karya Rebecca Skloot berjudul The Immortal Life of Henrietta Lacks mengangkat kisah hidupnya, hal itu memicu protes publik.
Meski begitu, ada sedikit perubahan. Pada 2013 lalu, para peneliti menerbitkan genome HeLa, dengan informasi pribadi yang berkaitan dengan Lacks dan keluarganya, secara online.
Insiden itu menyebabkan National Institutes of Health membuat peninjauan yang memberi ruang bagi keturunan Lacks untuk menyetujui penelitian HeLa di masa depan.
Dan ini menandai era baru penanganan materi genetik manusia.
Lepas dari itu, ada Henriettas lain di luar sana: individu yang informasi genetiknya digunakan tanpa persetujuan.
Bagaimapun juga, merekalah pahlawan sains sejati. Warisan terbesar Lacks adalah memberi mereka pandangan, bahwa kita diingatkan punya utang kepada mereka (yang informasi genetiknya diambil tanpa persetujuan itu).
(Artikel ini disadur dari Discovery Magazine berjudul "The Unsung Heroes of Science")
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR