Intisari-online - Saat ini kita bisa dengan mudah berpapasan dengan mereka di jalan, angkutan umum, kampus, kantor, dan tempat-tempat publik lainnya.
Kebiasaan bertindik, menurut Sarah Sawyer dalam bukunya Body Piercing and Tattooing, diyakini sudah ada paling tidak sejak lima milenium yang lalu.
Museum Arkeologi dan Antropologi University of Pennsylvania, Amerika Serikat, punya koleksi patung laki-laki dari zaman kebudayaan Mesopotamia di Benua Asia (tiga milenium sebelum Masehi) yang memakai anting-anting di telinga.
Tradisi serupa juga dijumpai di semua kebudayaan di semua benua. Di Benua Afrika, kebiasaan bertindik juga sudah bisa ditemui sejak zaman kerajaan Mesir kuno.
Para Firaun dan bangsawan Mesir juga punya kebiasaan menindik pusar untuk menegaskan identitas kebangsawanan mereka.
Di Eropa, para ksatria pada masa Romawi kuno pun sudah punya tradisi bertindik. Mereka menindik puting dada untuk menunjukkan keksatriaan mereka. Begitu pula
di Benua Amerika pada masa lalu.
BACA JUGA: Kisah Bahu Laweyan, si Pemangsa Pasangan Hidupnya Sendiri
BACA JUGA: ‘Divisi Hantu’, Pasukan Tank Nazi yang Mampu Tawan 100.00 Pasukan Sekutu Tanpa Sempat Disadari Lawan
Di sana, para cenayang suku Aztec dan Maya kuno menindik lidah mereka dengan tujuan agar mereka lebih mudah berkomunikasi dengan para dewa. Tradisi menindik badan juga dilakukan dalam upacara untuk menandai bahwa seseorang telah masuk usia dewasa.
Beberapa suku di Indonesia pun, seperti Dayak dan Papua, punya kebiasaan bertindik di cuping telinga dan hidung.
Tradisi menindik anggota badan juga bisa kita jumpai bukan hanya pada suku-suku kuno atau terpencil. Ini misalnya bisa kita jumpai zaman kini pada para perempuan di Asia Selatan, seperti India. Seperti yang biasa kita lihat di film-film India, mereka punya kebiasaan menindik hidung.
Dalam tradisi Ayurveda yang masih diyakini hingga sekarang, tindik di hidung bagi perempuan diyakini bisa memudahkan proses melahirkan.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR