Supratikno berpendapat, Dvarapala sederhana itu mungkin penjaga bangunan candi dekat Candi Borobudur yang ukurannya lebih kecil, namun umurnya lebih tua dari Candi Borobudur (diperkirakan sebelum tahun 770 M).
Jadi bukan penjaga Candi Borobudur, karena agaknya seniman Borobudur tidak memerlukan Dvarapala.
Di Borobudur fungsi penjaga sudah digantikan oleh singa-singa yang mengapit jalan masuk menuju puncak candi.
Sedangkan Dvarapala-dvarapala dari Candi Sewu menunjukkan hasil karya seni yang lebih tinggi ketimbang yang dari Borobudur.
Kalau Dvarapala Borobudur tidak mengenakan ikat kepala dan upawita (tali kasta), serta tidak memegang ular dan gada, maka Dvarapala Candi Sewu memiliki seluruh atribut itu.
Garapannya pun lebih halus dan rumit. Supratikno berpendapat, Dvarapala Candi Sewu mungkin dibuat sebelum tahun 782 M.
Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1959) sempat mengamati sejumlah Dvarapala dari situs-situs candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Empat Dvarapala yang ditemukan di selatan Candi Kalasan, Yogyakarta, berukuran tinggi 1,90 meter.
Rambut gimbal terurai tanpa ikat kepala, tangan kanan memegang nagapasa, sedangkan telapak tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang diturunkan ke tanah.
Tak lupa pisau besar terselip di pinggangnya. Kempers menduga arca-arca itu merupakan penjaga pintu masuk Candi Kalasan, namun sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Dvarapala yang terdapat di sekitar Candi Singasari di Malang, Jawa Timur, menurut Kempers, adalah raksasa penjaga alun-alun Kerajaan Singhasari (1222 - 1292).
Raksasa ini menjaga pintu masuk Keraton Singhasari yang diperkirakan lokasinya tidak jauh dari Candi Singasari sekarang.
Dvarapala Singasari itu memiliki karakter yang lebih damai, kata Kempers. Padahal sebenarnya ekspresi penjaga itu dimaksudkan oleh seniman Jawa supaya tampak sangar.
Alis matanya melengkung dengan mata melotot. Dari lekuk mulutnya terlihat taring-taringnya. Tangan kiri bertelekan pada sebuah gada yang berat berhiaskan vajra.
Ular dan tengkorak yang disandangnya seharusnya membuat lawan gemetar.
Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda.
Selain Dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan, bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi, penampilannya tetap saja garang.
Penampilan Dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi.
Menurut Supratikno, dvarapala juga berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal dalam Buddhisme di Tibet.
Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu rupa-rupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan makhluk ini secara tidak terlalu menakutkan.
Perhatikan mulutnya, sering digambarkan ekspresi mulut yang "tersenyum".
Lengser
Sepasang Dvarapala mungil dari lereng selatan G. Semeru baru setahun silam diturunkan orang.
Setelah ratusan tahun menjaga kesucian G. Mahameru dan bangunan-bangunan pemujaan yang ada di lerengnya, kini Dvarapala itu terpuruk di ruang sempit rumah penduduk.
Tugasnya dinyatakan selesai. Terbukti, tidak ada upaya mengembalikan posisinya sebagai penjaga candi di G. Semeru.
Nasib malang tidak hanya menimpa Dvarapala dari G. Semeru itu. Dvarapala-dvarapala lainnya mengalami nasib hampir serupa. Dvarapala turun pangkat.
Bila dulu mereka menjadi-penjaga bangunan suci dan pendamping Buddha, kini Dvarapala banyak dipasang di hotel, kantor, dan bahkan rumah mewah pribadi.
Apa pun sebutannya, apakah Thotok Kerot di Jawa Timur atau Reco Gupolo di Prambanan dan sekitarnya, kini, tampaknya Dvarapala sudah kehilangan makna.
(Ditulis oleh Nurhadi Rangkuti/Daniel Agus Maryanto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2000)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR