Sejak mula ia memang tak berniat untuk memindahkan koleksi itu ke negerinya sendiri, sebab ia merasa bahwa Indonesia merupakan tanah airnya yang kedua.
Sejak dulu ia sering mengatakan kepada pedagang antik bahwa ia tak berniat memiliki barang-barang itu, melainkan untuk melindungi dari kepunahan.
Dia juga sering memarahi pedagang yang menjual barang bagus kepada orang yang akan membawa ke luar negeri atau yang tak tahu arti dan nilainya.
Bulan Maret 1932 dibangun ruang khusus untuk memamerkan koleksi keramik yang bagian terbesarnya ialah koleksi de Flines.
Ketika sudah selesai, de Flines mengangkut barang-barangnya yang tak ternilai itu ke Betawi. Ia mendapat bantuan dari para pedagang antik yang sangat berpengalaman dalam pembungkusan.
Pekerjaan mempak selesai dalam bulan Juni 1932. Perusahaan kereta api menyediakan kereta khusus untuk mengirim keramik itu.
Setelah- ulang-alik empat kali dalam waktu tiga bulan antara Semarang-Jakarta, akhirnya semua barang sampai dengan selamat di museum.
De Flines sendiri yang tak mau berpisah dengan harta karunnya mendapat rumah tinggal kecil di belakang museum dan diangkat sebagai kurator bagian koleksi keramik.
Hidupnya lebih sederhana lagi daripada waktu di Ungaran, dan kesibukan sehari-harinya ialah mengakrabi keramik, mulai dari jambangan utuh sampai gerabah yang dikumpulkan dari mana-mana.
Sampai sekarang koleksi pecahan porselinnya masih rapi tersimpan dalam kotak-kotak kecil yang merupakan laci-laci sebuah almari.
Pedagang-pedagang antik tetap ramai berdatangan. Pada mereka yang menawarkan barangnya ia tak pernah mengatakan bahwa barang itu jelek, hanya "barang ini kurang sesuai untuk dimasukkan dalam koleksi."
Ketika tentara Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, menurut Mayuyama, de Flines diperbolehkan meneruskan pekerjaannya sebagai kurator di. Museum yang telah diambil alih.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR