Akibatnya, 35.000 personel Tentara Nasional Indonesia (TNI; nama baru bagi TRI sejak 3 Juni 1947) harus dipindahkan dari kantung-kantung pertahanan di Jawa Barat yang dikuasai Belanda.
Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Yogya. Suatu hal yang tidak pernah bisa dilakukan melalui perang oleh tentara Belanda.
Namun kehadiran Divisi Siliwangi di Yogya dan Solo malah mempertinggi daya tempur tentara.
Panglima Soedirman mengerahkan divisi itu (di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution) untuk menumpas pemberontakan PKI-Muso 18 September 1948.
Pemberontakan dapat ditumpas, Repubiik Indonesia tidak jadi berantakan.
Keberhasilan menumpas PKI ini rupanya. membuat Amerika Serikat yakin bahwa Indonesia antikomunis.
Mereka mendesak Belanda agar segera mengakui RI sebagai negara berdaulat. Tetapi desakan itu justru dibalas dengan agresi II ke Yogya 18 Desember 1948.
"Menjelang fajar," tulis Vaandrig (pangkat bintara militer di bawah letnan dua) Oetojo Kolopaking (Intisari Maret 1968), "beberapa pesawat Dakota hijau belang-belang menderu bersama pesawat pemburu Mustang cocor merah di atas kota."
"Dalam keadaan yang mencekam itu, para perwira di rumah dinas Pak Dirman keluar untuk menilai medan, lalu kembali lagi mendekati Pak Dirman yang berdiri di serambi depan. Mereka membisikkan sesuatu padanya dengan mendekatkan kepala masing-masing, ke kepala Pak Dirman, seakan-akan khawatir kalau bisikannya akan terdengar oleh serdadu Belanda dalam pesawat yang menderu-deru."
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 2000 dengan judul "Soedirman Sang Guru yang Jadi Panglima" dan ditulis ulang oleh Moh Habib Asyhad.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR