Unsur kekuatan yang diturunkan untuk melancarkan aksi “perang melawan komunis” di Indonesia melibatkan para agen rahasia CIA dan secara diam-diam didukung oleh militer AS.
Pengerahan kekuatan militer AS yang dalam kondisi siap tempur dan digelar di kawasan Pasifik, Singapura, dan Filipina itu jelas menunjukkan bahwa militer AS juga siap menginvasi kawasan Indonesia jika waktunya telah tiba.
Target operasi rahasia CIA saat itu ada dua macam, pertama membunuh Presiden Soekarno dan kedua menciptakan instabilitas dengan cara memperalat serta mempersenjatai unsur-unsur kekuatan di berbagai daerah yang akan melancarkan pemberontakan.
CIA kemudian mendanai dan sekaligus mendalangi pemberontakan PRRI/Permesta dengan tujuan memecah belah Indonesia dan menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tapi upaya CIA untuk menjatuhkan Soekarno melalui pemberontakan PRRI/Permesta ternyata gagal.
Agen CIA, Allen Lawrence Pope yang turut bertempur di Sulawesi dengan menggunakan pesawat pengebom bahkan tertangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia.
Tapi berkat peran Bung Karno yang memiliki hubungan baik dengan Presiden AS saat itu, John F Kennedy, Allen Pope kemudian dibebaskan.
Sebagai imbalannya, pemerintah AS memberikan hadiah sebanyak 12 pesawat C-130 Hercules dan kucuran dana dari AS melalui Civic Mission Program.
Tapi Civic Mission Program tetap saja merupakan sarana CIA untuk menjatuhkan Soekarno, karena berkat program itu CIA bisa mendapat akses secara leluasa ke seluruh lapisan TNI dan merekrut kader-kader TNI yang anti Bung Karno.
Para kader TNI bisa dengan mudah direkrut oleh CIA karena saat itu Bung Karno yang dekat dengan orang-orang PKI dan negara-negara komunis, telah dianggap sebagai “presiden yang pro komunis”.
Apalagi Bung Karno saat itu juga sedang menggalakkan gagasan mengenai Nasional, Agama, dan Komunis (Nasakom) yang diharapkan akan mempersatukan segenap rakyat Indonesia tapi justru menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah serta kejatuhan dirinya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR