Kala itu yang menjadi moderatornya ialah Jusuf Simanjuntak yang kemudian kita kenal sebagai Yusuf Adjitorop, tokoh PKI pelarian yang kemudian bermukim di Peking dan hidup atas belas kasihan pemerintah China.
Seorang mahasiswa menanyakan, “Pak Muso mengapa sekarang anti-Linggarjati, padahal dulu Amir Syarifuddin yang notabene juga orang komunis justru mendukungnya?"
Suasana menjadi geger. Tetapi, sebelum pertanyaan itu diajukan suasana memang juga sudah agak panas. Memang begitulah, cara pada waktu itu apabila ada sesuatu golongan hendak mengacau rapat atau pertemuan. Beraneka ragam caranya; rupa-rupa metodenya.
Simanjuntak nampak agak panas juga telinganya. Kok ada yang berani mengajukan pertanyaan begitu? Tetapi Muso-nya sendiri lalu menenangkan anak buahnya.
"Tenang, tenang…, jangan panik, jangan panik. Saya juga sudah tahu, dari mana angin menghembus…”
Simanjuntak oleh sementara pengunjung dianggap kurang mampu dan tidak tegas menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang datang kepada Muso; karena itu dia lalu disoraki, dijengek-jengeki. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik.
(Baca juga: Sedikit tentang Dipa Nusantara Aidit: Mozaik di Luar Politik)
Saya terus terang saja lupa, entah bagaimana tempo hari itu jawabnya Muso atas pertanyaan itu. Yang saya masih ingat ialah, bahwa sewaktu rapat itu ditutup ruang ceramah sudah hampir kosong.
Agaknya para mahasiswa-mahasiswi sudah ogah lagi mendengarkan pidato gembong komunis itu.
Lain sekali, dengan keadaan sewaktu pada suatu ketika Mohammad Yamin yang oleh para mahasiswa juga diminta adakan ceramah. Yamin memang pandai mengambil hati mahasiswa.
Kendati pada waktu itu dia tidak masuk partai ini itu, kepada saya dia pernah katakan: sekarang ini bukan zamannya masuk partai ini itu, tetapi masih blok ini itu, namun sampai akhir ceramahnya sambutan para pemuda mahasiswa sangat gairah sekali.
Sering kali terdengar suara tepuk tangan, mawurahan tanda setuju dengan apa yang diuraikan oleh pembicara.
Pada waktu itu dalam "primbon" saya sudah saya buat perbandingan antara Muso dan Yamin ini. Sayang sekali, buku primbon saya itu hilang tak karuan, sewaktu serdadu Belanda main ugal-ugalan menyebut Yogya, dan kantor “Antara” tempat saya bekerja juga ikut diduduki oleh pihak yang pada waktu itu menjadi penguasa.
Dua kali itu saja saya melihat dan berkenalan dari dekat (dalam arti fisik) dengan Muso.
Orangnya gede, dempal. Suaranya bantas, braok. Pipinya gendut, item dito perawakannya. Lagi sekali, dia memang lebih pantas menjadi jagoan tukang kepruk daripada menjadi pemimpin.
(Baca juga: Slamet Sutikno, Kakek 74 yang Bisa Keliling Dunia dengan Sepeda Berkat Bawang Putih)
Akhirnya, dalam petualangannya memberontak terhadap pemerintahan RI yang sah yang notabene sedang menghadapi kepungan pasukan Belanda itu, Muso akhirnya tertembak mati oleh seorang anggota Hizbullah; setelah terlebih dahulu berkejar-kejaran naik dokar (delman) dan sembunyi di balik pohon asam segala, persis seperti yang pernah kita lihat dalam film koboi itu.
(Ditulis oleh Haji Soebagiyo, I.N., wartawan Antara. Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1970)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR