Penulis
Intisari-Online.com -Beberapa orang menyebut New Orleans dihantui oleh para penyihir, sementara yang lain menyebutnya diserbu vampir, hantu, dan makhluk-makhluk sejenisnya.
Tapi yang jelas, sekira 1817-1905, kota itu benar-benar dihantui oleh kematian.
Dan kematian itu, sebagian besar, disebabkan oleh yellow fever alias demam kuning.
Demam kuning merupakan penyakit yang fatal, dan mengerikan.
Di tahun-tahun epidemik itu, selama bulan-bulan antara Juli dan Oktober, paling tidak penyakit itu bisa membunuh 10 persen dari populasi kota.
Akhirnya, New Orleans mendapat julukan sebagai “Necropolis”—kota hantu.
Baca Juga : Virus Zika Belum Mereda, Eh, Sudah Datang Wabah Demam Kuning
Seperti dilansir dari Npr.org, demam kuning tak hanya membunuh, ia menciptakan seluruh struktur sosial berdasarkan siapa yang selamat dari virus—yang mungkin bertahan hidup dan yang sebentar lagi wafat.
Dan struktur itu, menurut Kathryn Olivarius, profesor sejarah di Stanford University, punya korelasi dengan imigrasi dan perbudakan.
Demam kuning disebabkan oleh nyamuk dan tumbuh subur di tempat yang hangat dan lembab dengan populasi padat.
Pada abad ke-19, New Orleans dan kota-kota di Selatan (Amerika Serikat bagian selatan pro perbudakan) adalah tempat pembibitan yang ideal.
Secara historis, dari orang-orang yang terjangkit virus, sekitar setengahnya dipastikan mati. Tahun terburuk yang tercatat di New Orleans adalah 1853—di mana 8.000 penduduk kota meninggal dunia.
Sialnya, mereka mati dengan cara yang menyiksa. Mereka mula-mula akan mengalami sejumlah gejala yang tidak menyenangkan: sakit kuning, menggigil, mual, sakit kepala, demam, kejang, delirium—dan pendarahan.
“Pada akhirnya, pasien akan mulai mengeluarkan darah melalui mata, hidung, telinga,” ujar Olivarius.
“Saya bahkan menemukan kasus pasien yang mengalami pendarahan via jari-jari,” sambungnya.
Kemudian, sesaat sebelum meninggal, pasien akan memuntahkan darah yang terkoagulasi secara parsial.
Baca Juga : Bagaimana Orang-orang Israel Mendominasi Perbudakan Sejak Zaman Kuno Hingga Era Modern?
Olivarius mengatakan, demam kuning adalah penyakit yang bisa membuat orang suci menjauh dari Tuhan.
“Saya punya banyak contoh kasus tentang para pendeta dan menteri yang berteriak sebelum meninggal,” ujarnya.
“Bahkan orang-orang saleh pun akan menjerit sekeras-kerasnya seolah akhir zaman menjemput.”
Saat ini, demam kuning sudah jarang ditemukan di Amerika Serikat. Tapi di beberapa wilayah di Afrika dan Amerika Selatan, demam kuning masih menjadi persoalan—meski sudah ada vaksin untuk pencegahan.
Dulu, satu-satunya cara untuk mengemnbangkan kekebalan tubuh adalah dengan bertahan hidup.
Akibatnya, Olivarius menjelaskan, hirarki sosial yang berkembang di New Orleans adalah “terbiasa” (yang bisa bertahan hidup dari demam kuning) dan “tidak terbiasa” (sebaliknya).
“Jika Anda tidak terbiasa, Anda akan berada di kelas sosial yang menyedihkan,” tulis Olivarius dalam sebuah buku tentang bagaimana demam kuning membentuk struktur kota tersebut.
“Bos tidak akan mempekerjakan juru tulis dan pemegang buku yang tidak terbiasa. Perempuan tidak akan menikah dengan pria yang tidak terbiasa. Anda tidak bisa tinggal di lingkungan tertentu, dan orang-orang tidak akan menyewa kamar kecuali Anda termasuk golongan ‘terbiasa’. Lingkungan akan mengucilkan Anda. Dan ini menciptakan hierarki sosial di mana Anda harus tinggal bersama mereka yang sakit.”
Baca Juga : Endemik Penyakit Cacing Pita di Simalangun, Petugas Temukan Cacing Sepanjang 10.5 Meter
Bagian yang paling sulit, ujarnya, adalah tidak ada tanda-tanda fisik yang spesifik untuk membuktikan bahwa Anda termasuk orang yang “terbiasa”.
Oleh sebab itu, orang-orang harus menemukan cara untuk membuktikan diri bahwa mereka terbiasa—yang seringnya mempersoalkan seberada dekat Anda dengan New Orleans.
Menurut mereka waktu itu, orang-orang yang lahir di kota itu lebih mungkin selamat dari demam dibanding para pendatang. Itulah mengapa, demam ini juga disebut sebagai “Penyakit Orang Asing”.
Meski begitu, tetap saja para imigran datang berbondong-bondong ke kota tersebut.
Olivarius mengatakan, New Orleans pada abad ke-19 mirip Sillicon Valley hari ini.
“Ia adalah tempat di mana, jika Anda seorang laki-laki kulit putih yang ambisius, Anda akan menciptakan keberuntungan,” tulisnya.
Orang-orang datang ke kota ini untuk mengadu nasib di pabrik-pabrik kapas yang sedang booming, hingga akhirnya membeli lahan sendiri dan membeli budak.
Tapi pertama-tama, mereka harus membuktikan diri bahwa mereka tidak akan mati.
Meluasnya demam kuning juga menghadirkan mitos-mitos—baik soal bagaimana cara melindungi diri atau siapa yang paling mungkin mati.
“Kabarnya, orang yang makan lebih banyak tomat akan terkena demam kuning. Atau, jika kamu makan terlalu banyak buah kamu akan terkena demam kuning. Ada juga yang bilang, ‘jika kamu tidak makan buah kamu akan terkena demam kuning,” kata Olivarius.
Tapi mitos yang paling umum—dan mungkin paling picik—adalah bahwa Anda tidak akan terkena penyakit ini jika Anda berkulit hitam.
Baca Juga : Hati-hati! Wabah Penyakit Paling Banyak Disebarkan Lewat Daging Ayam
Menurut Olivarous, para dokter terkemuka di Selatan menyebarkan kebohongan bahwa orang kulit hitam memiliki kekebalan alami terhadap penyakit itu.
Kebohongan itu, sialnya, digunakan untuk membenarkan perbudakan.
Dengan alasan ini, orang-orang kulit putih punya dalih untuk terus mempekerjakan orang-orang kulit hitam di berbagai tempat yang rentan terkena penyakit ini.
Yang lebih parah, para pendukung perbudakan berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan orang kulit Hitam kebal penyakit.
Sehingga, mereka bisa dimanfaatkan untuk memperluas industri dan ekonomi nasional.
Lebih dari itu, orang-orang kulit hitam ini dimanfaatkan untuk melindungi orang-orang kulit putih dari kematian akibat demam kuning.
Tapi justru di sinilah masalahnya. Seiring waktu, semakin banyak yang tahu bahwa orang kulit hitam tidak benar-benar kebal terhadap penyakit ini.
Begitulah, tutup Olivarius, penyakit-penyakit mematikan sering digunakan untuk melanggengkan prasangka—juga kedudukan.
Baca Juga : Kisah Tragis Amal Hussain: Gambaran Betapa Mengerikannya Dampak Perang Saudara di Yaman