Find Us On Social Media :

Menjelang G30S PKI, Pesta di Kedutaan Tanpa Membayangkan yang Terjadi Setelahnya

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 12 September 2018 | 22:00 WIB

Baca Juga : Selamat Ulang Tahun Tan Malaka, Pendiri Sekaligus Korban ‘PKI’ yang Pernah Bermimpi tentang Bersatunya Islam di Seluruh Dunia

Dengan demikian Jakarta memperoleh wajah yang tak beraturan dan terputus-putus. Suatu gedung pemerintah baru yang mengesankan dikelilingi oleh gubuk-gubuk dan dihubungkan dengan jalan gerobak yang penuh lubang.

Ada air mancur, tetapi tiada trotoar untuk pejalan kaki.

Yang membuat jengkel para pejabat ialah pemotret-pemotret Life  dan Paris-Match selalu memotret gedung-gedung megah seperti Hotel Indonesia yang megah, yang dirancang untuk mengesankan tamu-tamu asing, dikelilingi oleh gubuk-gubuk reyot.

Dan patung-patung yang disenangi oleh Presiden, yang dengan gagahnya mematahkan belenggunya dan meneriakkan maut kepada imperialis di atas landasan beton mereka, semuanya dalam gaya realisme Sovyet, dirasakan asing bagi orang Indonesia yang begitu berbudaya dan artistik.

Dengan turunnya senja kekerasan monumen-monumen dan Jakarta sendiri nampaknya memudar.

Diterangi lampu sorot dalam kolam-kolamnya, patung-patung itu nampaknyaa menunjukkan garis-garis yang lebih lembut. Di sekitar air mancur, orang-orang berkumpul untuk menghirup sejuknya air yang berpancar ke udara.

Baca Juga : Buku Ini Pernah Jadi ‘Medan Pertempuran’ Antara ‘PKI’ dan Pancasila

Kota itu mulai membebaskan dirinya dari kemacetan lalulintas seharian penuh. Menurut gubernur DKI, (waktu itu dr. Sumarno-red) delapanpuluh persen bis kota tidak bisa berjalan karena kekurangan onderdil.

Yang masih berjalan merintih kepenuhan suatu bukti kehebatan pabriknya dan kelihaian montir-montir Indonesia yang mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan sepotong kawat, tali atau potongan-potongan kaleng.

Tetapi waktu malam tiba armada tambal sulam ini telah pulang ke pangkalannya sambil tersendat-sendat dan terbatuk-batuk, dipadati sampai ke langit-langitnya dengan pekerja-pekerja yang menjinjing kantong beras, suatu tambahan vital pada gajinya yang tak pernah cukup.

Lalu jalan-jalan dikuasai oleh pengemudi becka yang compang-camping, orang-orang yang kurus tetapi berotot keras yang menyusuri jalan-jalan dengan becanya untuk membeli makan malamnya.