Find Us On Social Media :

Kasus Rumah 'Helikopter' Eko Purnomo: Komunikasi Buntu, Kehidupan Bertetangga pun Runyam

By Intisari Online, Rabu, 12 September 2018 | 11:45 WIB

Artinya pilihan untuk bisa beraktivitas dengan lingkungan terbuka di mana saja.

Termasuk di kantor, lingkungan keluarga besar, atau di tempat lainnya bersama komunitas-komunitas yang seseorang pilih.

Bisa jadi kehidupan mereka di sana jauh lebih guyub dibandingkan dengan kehidupan bertentaggannya.

Makanya, jangan heran bila ada tetangga yang interaksinya amat minim di lingkungannya.

Celakanya, bila hal ini berlangsung bekerpanjangan tentu akan menimbulkan masalah. Bisa jadi, dampaknya sebenarnya telah terasa.

“Ketika ikatan-ikatan ketetanggan itu menjadi longgar, kontrol sosial kita terhadap lingkungan menjadi lemah,” jelas Lidya.

Nah, inilah yang kerap membuat hubungan dengan tetangga menjadi renggang. Tak hanya itu, ini pula yang membuat seseorang tak mengetahui hal-hal yang terjadi dilingkungannya. Misalnya, KDRT atau musibah yang sedang dialami tetangganya.

Kabar baiknya, masalah ini masih bisa diatasi. Jika kontrol sosial telah melemah, ada pengikat yang dapat memperkuatnya.

Contohnya melalui kegiatan arisan, kerja bakti, kegiatan keagamaan, atau kegiatan lainnya  yang masih sering kita temukan dalam bertetangga. 

Menurut Lidya, meskipun ada kesan individualistik dalam kehidupan bertentangga di perkotaan, tapi semangat untuk mempererat nilai kehidupan beretagga tetap ada. 

Bahkan, menurut studi yang Lidya lakukan, fenomena ini juga masih bisa kok kita temukan mesik di daerah lingkungan elit sekalipun.

Hanya saja semuanya kembali pada tiap-tiap individu. “Tergantung dari masing-masing orang yang ada di dalam situ, kalau orangnya semua punya kepedulian, biasanya hidup.” Jelasnya.