Find Us On Social Media :

Beginilah Mengerikannya Krisis Moneter 1998: Hewan-hewan pun Kalang Kabut dan Terpaksa Puasa

By Intisari Online, Kamis, 6 September 2018 | 16:30 WIB

Adakalanya pengusaha bunga potong terpaksa menurunkan harga atau menawarkan dengan harga obral kepada teman atau tetangga. "Daripada tersisa dan akhirnya membusuk," katanya beralasan.

GOLEK PESTA DOLAR

Sementara banyak yang terimbas krisis, tidak demikian dengan Dase A.S. (42), perajin cendera' mata wayang golek, di Bogor, Jawa Barat. Usaha yang mulai digeluti sejak ta-hun 1976 ini justru tidak terkena dampak buruk krismon.

"Alhamdulillah, saya tidak kena dampak (buruknya). Sebelumnya usaha saya stabil, sekarang ketika dolar menguat keuntungan saya meningkat 60%," tutur perajin golek yang waktu itu bekerja dengan sebelas pekerja ini.

"Kalau dulu satu.wayang golek nilainya Rp90 ribu atau sekitar AS $ 30, sekarang dengan kurs Rp 8.000 per AS $, nilai rupiah yang diterima mencapai Rp240 ribu," ungkapnya.

Wajar kalau Dase memasang patokan harga dalam dolar, sebab pembelinya turis asing.

"Bule maunya sih rupiah. Mereka sering bertanya, 'Mengapa harus dolar?' Saya pun menjawab, tidak tahu," ujar Dase.

Bukan tanpa alasan kalau Dase memasang harga dalam dolar AS. Dengan patokan dolar, angkanya seolah-olah kecil.

"Kalau sudah jadi, mau tidak mau 'kan harus dibayar. Kadang mereka bengong juga. Kok nilai rupiahnya jadi besar amat, ha ... ha ... ha...," katanya disertai derai tawa.

Selain dolar AS, Dase juga menerima mata uang asing lain, macam gulden Belanda, franc Prancis, atau mark Jerman.

"Dulu kalau ditawarkan dalam rupiah, mereka kaget, Two hundred thousand? Big money'. Lantas, saya bilang, You jangan melihat rupiahnya. You look dollar, only twenty dollars. Akhirnya mereka mengerti juga, 'OK, 1 pay you'. Karena cinta rupiah, ya, tinggal menukar lagi ke rupiah."

Kebanyakan pembelinya turis dari Jerman, Belanda, Prancis, Swis, AS, Kanada, dan Australia. Sebagian besar turis Belanda. Bahkan, ada turis Belanda yang menjadi pelanggan.

Di negeri kincir sana, ia memang menjual benda-benda seni. Dalam setahun ia datang tiga kali dan memesan 225 unit wayang.

Selain itu juga ekspatriat yang tinggal di Jakarta dan Tangerang. Umumnya mereka mengetahui alamat Dase dari buku panduan wisata Indonesia yang diterbitkan dalam beberapa bahasa, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Italia.

Jumlah tamunya pada masa krisis ini tak mengalami penurunan.

"Penuh terus! Nggak tahu ya, mungkin bagi bule saat ini kesempatan untuk belanja di Indonesia. Lagi murah-murahnya," katanya.

Rata-rata, dalam satu bulan terjual 120 wayang golek dengan ukuran bervariasi, 30 cm, 45 cm, dan 75 cm.

"Paling sedikit laku 60 wayang. Kalau membeli satu-dua, biasanya langsung dibawa. Tapi kalau minta dikirim minimal membeli empat wayang."

Bahan wayang golek biasanya berupa kayu Alstonia scholars (kayu lame atau pule) dari Leuwiliang dan Jasinga, Jawa Barat. Sedangkan kain batiknya adakalanya dari pelelangan di Perum Pegadaian.

"Kualitasnya 40% lebih baik daripada kain baru. Batik lama kalau terkena air tidak luntur. Sebaliknya, kain batik sekarang seharga Rp15 ribu -  Rp20 ribu mudah luntur," ungkapnya.

Selama krismon biaya produksinya memang meningkat. Sebab, "'Gaji karyawan dinaikkan sekitar 25%."

Padahal, "Mereka tinggal kerja saja, sementara semua bahan baku dan akomodasi, saya yang jamin," kata Dase.

Demikian juga dengan harga bahan baku kayu dan kain batik. Tapi semua itu ternyata tak merugikannya. Yang terjadi malah sebaliknya, keuntungannya meningkat dalam angka rupiah!

Artikel ini sebelumnya tayang di Majalah Intisari edisi Mei 1998