Find Us On Social Media :

Ronggowarsito, Pujangga Kraton Surakarta yang Ramalkan Datangnya 'Zaman Edan', Kapan Itu Terjadi?

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 6 September 2018 | 14:30 WIB

Intisari-Online.com – Bagaikan pertunjukan wayang kulit, yang mampu menampilkan permainan bayang-bayang, orang Jawa lebih senang memakai lambang tertentu untuk menyampaikan suatu pengertian.

Berikut ini kita simak tulisan Julius Pour yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1975, dengan judul Ronggowarsito Sudah Meramalkan Hari Kematiannya.

--

Suasana kehidupan di dalam lingkungan Kraton Solo pada pertengahan abad ke XIX, secara politis memang sulit. Meskipun demikian, dilihat dari perkembangan kesusasteraan Jawa, pertumbuhannya kelihatan cerah.

Pangkat yang lumayan, jabatan yang terhormat serta kedudukan yang menentukan dalam segala masalah surat-menyurat untuk kepentingan Raja masa itu, menyebabkan pergaulan Ronggowarsito semakin meluas.

Baca Juga : Besuk Kiamat, Program Baru Pemkot Surakarta Untuk Warganya yang Meninggal Dunia

Untuk kepentingan menanamkan pengaruh, Belanda juga menempatkan seorang penterjemah dalam lingkungan Kraton. Hubungan Ronggowarsito dengan mereka, atas dasar pangkat yang sama sebagai penterjemah, tetap baik.

Melihat kemampuan dan ketrampilannya mengajarkan bahasa Jawa, seorang sarjana Belanda C.F. Winter putera dari J.W. Winter penterjemah di dalam Kraton, meminta agar sebuah jabatan selaku Guru Besar Bahasa dan Kesusasteraan Jawa bisa diisi.

Meskipun memperoleh janji imbalan gaji sebulan 1.000 Gulden, selama 12 tahun dengan jaminan hak pensiun separo gaji dan berbagai fasilitas lain, Ronggowarsito tetap tidak mau menerima tawaran menjadi Mahaguru di negeri Belanda.

Hanya satu alasannya, ia tidak mau meninggalkan kota Solo dan tidak bisa mengabdi kepada Sunan yang sedang bertahta. Untuk mengisi lowongan Guru Besar tersebut, ditunjuknya salah seorang murid. Yang dengan rekomendasi Ronggowarsito, terus memegang jabatan Mahaguru dinegeri Belanda sampai dipensiunkan.

Baca Juga : Inilah Matilda Chong, Warga Singapura yang Diberi Gelar 'Putri' oleh Keraton Surakarta

Pujangga ini tidak hanya bergerak terbatas dalam penulisan buku-buku. Sebuah penerbit bernama Harteveld & Co, di tahun 1855 mencari seorang tenaga ahli bahasa Jawa guna menerbitkan sebuah koran.

Setelah melakukan konsultasi ke sana-kemari, dan menyampaikan permintaan kepada pihak Kraton. Akhirnya Sunan Paku Buwono ke VII, memberikan ijin kepada Ronggowarsito untuk membantu penerbitan koran tersebut.