Find Us On Social Media :

Ronggowarsito, Pujangga Keraton Surakarta Ini Sudah Meramalkan Hari Kematiannya

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 5 September 2018 | 19:30 WIB

Intisari-Online.com – Bagaikan pertunjukan wayang kulit, yang mampu menampilkan permainan bayang-bayang, orang Jawa lebih senang memakai lambang tertentu untuk menyampaikan suatu pengertian.

Berikut ini kita simak tulisan Julius Pour yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1975, dengan judul Ronggowarsito Sudah Meramalkan Hari Kematiannya.

--

Tidak terkecuali cara tersebut dipergunakan dalam menandai sebuah karya sastra. Mereka memilih sebuah lambang, di samping menulis nama asli pengarang, yang tidak selamanya ikut menyertai.

Pujangga Ronggowarsito dari Kraton Surakarta di abad ke XIX, tidak selalu membubuhkan tanda tangan di akhir buah tulisannya. Tetapi naskah asli buku Paramasastra yang berisikan pengetahuan mengenai ilmu kesusasteraan dan sampai sekarang masih menjadi koleksi Museum Radya Pustaka Solo, mungkin merupakan sebuah perkecualian.

Baca Juga : Besuk Kiamat, Program Baru Pemkot Surakarta Untuk Warganya yang Meninggal Dunia

Karena pada baris terakhir naskah tersebut, di bawah tanda tangannya dalam huruf Jawa, Ronggowarsito ternyata masih menyempatkan diri menggambar seekor ular kecil. Menghadap ke arah kiri, panjang berkelok-kelok dengan ekor yang membelit. Mengapa harus ada gambar ular?

Secara etimologis, penguraian menurut asal suku kata, istilah pujangga berasal dari bahasa Sansekerta, bhujangga atau bujaga. Kata bujaga sendiri bermula dari akar kata bhuj, dalam pengertian berkelok atau membengkok.

Akar kata bhuj, selanjutnya mampu diubah menjadi kata bhuja dengan arti lengan atau belalai. Sementara bentuk kata ga, bersumber kata gan, mempunyai arti berjalan. Sehingga dengan demikian, kata bhujaga bisa diartikan berjalan berkelok-kelok.

Dari sini tumbuh pengertian, bhujaga adalah seekor ular. Di samping lewat cara lain timbul pengertian, bhujaga adalah seorang cendekiawan, rokhaniwan atau pengikut tetap seorang Raja.

Baca Juga : Menyeramkannya Hukum Siksa di Kerajaan Surakarta Zaman Dulu, Manusia pun Diadu dengan Binatang Buas

Tidak mengherankan, karena alasan-alasan tersebut di atas, sebagai orang Jawa yang baik, Ronggowarsito memutuskan menggambar seekor ular diakhir naskah tulisannya. Tentu saja, ia cukup rendah hati, untuk tidak langsung menulis dengan jelas nama dan sebutan Pujangga.

Karena bagaimanapun juga, para pembaca kitab Paramasastra, diharapkan cukup bijak serta  ampu merasakan apa yang tersirat, bukan hanya yang tersurat. Sehingga sesudah memjabarkan secara sederhana, pembaca pasti mampu mengetahui, penulis buku termaksud adalah Ronggowarsito, yang mempunyai sebutan seorang Pujangga.  Bukan orang lain.