Find Us On Social Media :

Jadi, di Manakah Soeharto saat Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) Terjadi?

By Intisari Online, Senin, 3 September 2018 | 16:45 WIB

"Gerakan 30 September yang dipimpin Untung bukan sekedar gerakan yang akan menghadapi Angkatan Darat (AD) dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. Gerakan untung mempunyai tujuan lebih jauh, ingin menguasai negara secara paksa atau kup," kata Soeharto.

Sebelumnya Soeharto juga sempat mengadakan rapat khusus bersama asisten-asistennya, beberapa jam setelah ia mendengar peristiwa itu dari RRI.

"Menghadapi kejadian ini, kita tidak hanya sekedar mencari keadilan, karena jenderal-jenderal kita telah diculik dan sebagian dibunuh, akan tetapi sebagai prajurit Sapta Marga, kita merasa terpanggil untuk menghadapi masalah ini karena yang terancam adalah negara dan Pancasila. Saya memutuskan untuk melawan mereka," jelas Soeharto.

Karena itu Soeharto memerintahkan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk segera bertindak, merebut kembali RRI dan pusat Telkom yang telah dikuasai pemberontak.

Setelah itu ia menghubungi para panglima angkatan dan Polri. Melalui radiogram, Soeharto mengeluarkan perintah harian kepada para Pangdam di daerah agar menguasai daerahnya masing-masing, memberikan laporan secara teratur dan gerakan pasukannya hanya atas perintah Panglima Kostrad.

                                                           ***

IBU Tien masih menjaga anak kesayangannya Tomy di RSPAD. Sementara suasana di RSPAD terlihat agak berbeda dari hari biasanya.

Tak lama kemudian Ibu Tien baru mengetahui kalau semalam telah terjadi penculikan terhadap jenderal-jenderal yang dilakukan pasukan Cakrabirawa.

"Mendengar berita ini saya jadi gelisah dan ingin pulang ke rumah dengan segera. Saya pamit pada dokter kepala rumah sakit, tapi beliau berkeberatan jika tidak ada izin dari Pak Harto. Saya bilang tidak usah menunggu perintah. Pokoknya saya mau pulang," kenang Ibu Tien.

Hingga 1 Oktober sore, Soeharto belum memberikan kabar kepada istrinya apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Sementara detik demi detik, pikiran Ibu Tien semakin gelisah.

"Maka saya nekad saja untuk pulang karena saya gelisah dan tidak betah lebih lama di rumah sakit. Saya pikir, nanti kalau terjadi hal-hal yang lebih gawat anak-anak di rumah, saya di RS, nanti saya tidak bisa berbuat apa-apa."

Hari itu juga, Ibu Tien membawa Tommy pulang ke rumahnya diantar Probosutedjo dan ajudan Soeharto bernama Wahyudi.

Mengatisipasi keselamatan istri Pangkostrad, Probosutedjo meminta izin kepada Bu Tien untuk membawa senjata. "Saya minta permisi pada ibu apakah boleh senjata-senjata yang ada di rumah, kita bagi pada Ibnu Hardjanto dan Ibnu Hardjojo. Ibu setuju. Saya sendiri pegang dua jenis senjata," kenang Probosutedjo.

Sesampainya di rumah, Bu Tien tak melihat suami tercintanya. Kabarnya, Soeharto masih berada di markas Kostrad. Sementara Soeharto sendiri hanya memberikan amanat untuk disampaikan kepada istrinya, agar segera mengungsikan anak-anaknya ke rumah ajudannya di Kebayoran Baru.

Mendapat amanat itu, Bu Tien semakin penasaran. Ia tanya kepada ajudan senior Pangkostrad Bob Sudijo yang ikut mempersiapkan pengungsian. "Ini rahasia Bu," jawab Bob.

Karena Bob dianggap tidak mau terbuka, Probosutedjo sempat ngamuk.

"Bob kamu jangan begitu. Kalau terjadi apa-apa pada Bapak yang akan menderita dan kehilangan adalah istrinya dan semua keluarga termasuk saya," jelas Probo. Akhirnya Bob buka kartu bahwa Soeharto saat ini berada di markas Kostrad.

Setelah itu, keluarga Soeharto boyongan ke Kebayoran Baru.

Sedangkan Probosutedjo tidak ikut. Selama sehari semalam berada di rumah ajudannya, Ibu Tien mendadak mendapat kabar yang mengelisahkan hatinya.

"Waktu saya di pengungsian, tiba berita dan diberitahukan kepada saya bahwa ada seorang anak perempuan sedang mencari ayahnya yang bernama Soeharto. Ia sedang menunggu di rumah Chaerul Saleh," tuturnya.

Seketika itu juga Bu Tien angkat kaki menuju ke rumah Chaerul Saleh. Mengenakan jaket tentara dan dikawal ajudannya, ia berangkat dari Kebayoran Baru menuju ke Jalan Teuku Umar.

Sesampainya di sana, Ibu Tien mendapati seorang anak perempuan yang sedang ditemani seorang anggota AURI. "Saya lalu membawanya pergi. Tiba di rumah, saya interview. Dari jawaban-jawabannya sama sekali tidak cocok. Raut wajahnya saja tidak mirip sedikitpun dengan Pak Harto. Saya jadi yakin anak ini bukan anak Pak Harto," jelas Ibu Tien.

Meski begitu, Ibu Tien masih tetap penasaran. Diam-diam ia membuka sebuah tas koper yang dibawa anak perempuan itu. Isinya hanya sebuah gitar dan sebungkus bubuk yang kelihatannya seperti bubuk pembasmi tikus.

Selanjutnya, Ibu Tien meminta wanita itu agar beritirahat di sebuah kamar yang kemudian pintunya dikunci dari luar.

"Setelah itu saya pergi ke Kostrad untuk menemui Pak Harto, melaporkan hal ikhwal anak perempuan itu. Bapak bilang agar dibawa ke Kostrad saja. Keesokan harinya ketika pintu kamarnya dibuka, kamar sudah kosong. Anak itu telah menghilang. Rupanya dia melarikan diri turun melalui jendela menggunakan stagen," tutur Ibu Tien.

Ibu Tien menafsirkan, wanita itu sengaja dipasang untuk melenyapkan Panglima Kostrad dengan menggunakan racun tikus yang dibawanya. "Sejak itu saya tidak pernah bertemu lagi dengan anak itu, tidak ada pula kabar beritanya," kata Ibu Tien.

(Achmad Subechi)

Artikel ini sudah tayang di wartakota.tribunnews.com dengan judul “Kisah Soeharto Dari Kedatangan Sang Peramal, Hingga Meletus Peristiwa G30 S PKI”.