Find Us On Social Media :

Zaman Dulu, Murid Diterima Sekolah Tanpa Tes Akademik, tapi Harus Lolos Tes Fisik Sederhana Ini

By K. Tatik Wardayati, Minggu, 2 September 2018 | 16:00 WIB

Ada scdikit cerita tatkala kami nonton di gedung bioskop tentang berbagai peristiwa di berbagai kota di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Pada hiasan kota, toko-toko dan kantor terpampang hiasan besar-besar dengan lampu gemerlapan initial "JB" (Juliana - Bernhard).

Setiap kali terlihat huruf-huruf itu kami berteriak "JB". Saking sering dan banyaknya, teriakan berubah bernada mengejek: "Jeeebeee! Jeeebeee!". Gaduh sekali.

Baca juga: Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda

Para guru dan kepala sekolah tak bisa berbuat apa-apa. Namun, setelah kembali ke sekolah, kami dimarahi habis-habisan oleh bapak guru dan kepala sekolah yang Belanda itu.

Yang juga selalu ada adalah yang namanya fakkeloptocht atau flambouwenoptocht (pawai obor). Pawai ini mengelilingi kota dan berakhir di lapangan kota. Di situ sudah tersedia tumpukan kayu bakar yang hampir setinggi pohon kelapa.

Diatur sedemikian rupa hingga bentuknya menyerupai piramida. Tumpukan ini memang sudah dipersiapkan berhari-hari sebelumnya.

Pada setiap pojok piramida dipancangkan satu lonjor bambu. Dari puncaknya sampai ke bawah (hampir mencapai tanah), digantungkan rentengan mercon besar kecil. Kalau pawai obor sudah berakhir di lapangan ini, tumpukan kayu itu dibakar menjadi unggun api raksasa.

Baca juga: Unik, Pasukan Khusus Indonesia Ternyata Dibentuk Oleh Mantan Serdadu Belanda yang Pernah Menjadi Musuh Pejuang Indonesia

Bersamaan itu, disulutlah mercon pada bambu. Ramai sekali, seperti pertempuran saja.

Anak-anak yang mengelilingi api unggun bersorak-sorai gembira. Inilah acara yang paling kami senangi: begitu kayu bakar habis dan tinggal tumpukan bara yang tak berbahaya lagi, kami berlarian ke bawah tiang bambu berebut mencari mercon yang tidak meledak untuk dibawa pulang.

Kalau kepala sekolah sedih

Tahun demi tahun berlalu dan akhirnya tercapai juga tingkat terakhir. Wali kelas saya adalah kepala sekolah, orang Belanda, pengganti kepala sekolah sebelumnya.

Baca juga: Mengharukan, Diadopsi Keluarga Belanda 40 Tahun Lalu, Laki-laki Indonesia Ini Akhirnya Bertemu Ibu Aslinya

Orangnya sudah agak tua. Yang jelas beliau hidup melajang di sebuah hotel setempat.

Kepala sekolah mengajar bahasa Belanda dan ilmu bumi di kelas kami. la penyabar dan menyenangkan. Sering ia memberi penganan atau manisan (seorang murid disuruh membelinya). Kadang- kadang ia mengundi uang 1 gulden, yang dibagi menjadi 10 hadiah.

Beliau juga suka berkelakar pada waktu mengajar bahasa Belanda. Yang paling disukainya, bercerita tentang negeri leluhurnya pada saat mengajar ilmu bumi.

Ia juga bisa marah, yaitu kalau kami nakal atau tidak belajar di rumah, atau memang kemarahannya itu dibawanya dari rumah. Kalau sedang senewen begitu, beliau memaki-maki kami, "Kalian goblok, kalian kerbau!" (dalam bahasa Belanda).

Baca juga: Kisah Herlina Kasim: Merangkak di Bawah Hujan Peluru Guna Merebut Irian Barat Dari Belanda

Suatu hari ... tahun 1940 ... kami melihatnya tidak seperti biasanya. Beliau menangis di depan kami, di kelas! Kami tercenung. Kelas yang tadinya gaduh menjadi sepi, hening. Beliau terus menangis sambil menutupi wajahnya dengan sapu tangan.

Satu dua murid perempuan ikut terisak-isak, meskipun tak tahu apa yang disedihkannya.

Setelah agak lama, tangisnya mereda. Kepala sekolah diam sejenak, lalu menjelaskan bahwa baru saja ada berita tentang Negeri Belanda diserang dan diduduki tentara Nazi Jerman. Ia begitu sedih mengingat orang tua dan sanak saudaranya di sana.

Sebaliknya, ia sendiri tak ada harapan bisa balik ke tanah airnya. Menjelang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, saya bersama beberapa teman menyempatkan diri datang ke hotelnya. Ternyata ini merupakan pertemuan yang terakhir kalinya. Pada masa pendudukan Jepang, beliau ditawan dan diinternir. Kami tak pernah tahu lagi nasibnya.

Baca juga: Meski Mesin Kapalnya Mati, Pasukan Infiltran TNI AL Ini Berhasil Memenangkan Pertempuran saat Dikeroyok Pesawat Tempur dan Kapal Perang Belanda

Selama tujuh tahun bersekolah berhasil juga saya menyenanginya. Namun, semakin tinggi kelas saya, semakin meningkat pula kenakalan saya. Nilai rapor saya menukik cukup mengkhawatirkan.

Akhirnya datang juga hari penentuan, apakah kami lulus dari HIS atau tidak. Waktu itu tidak ada ujian akhir, keberhasilan bergantung pada nilai rapor. Yang lulus boleh meninggalkan sekolah dengan membawa Verklaring (= STTB sekarang). Yang tidak lulus harus mengulang.

Satu demi satu nama dipanggil. Yang dipanggil berarti lulus.

Selama ini saya tak pernah tinggal kelas. Bagi mereka yang tak pernah tinggal kelas ada peluang untuk lulus. Biasanya, ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs = SMP). tanpa ujian masuk.

Baca juga: Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia

Ketika rapor di meja tinggal beberapa saja, nama saya dipanggil. Saya lulus dengan angka-angka tidak top. Sebab itu saya hanya boleh masuk di kelas peralihan (voorklas) MULO. Beberapa teman laki-laki dan perempuan terpaksa mengulang.

Saya bersyukur bahwa di alam kemerdekaan ini siapa saja boleh  bersekolah dan sudah  berpuluh juta anak leluasa bersekolah.

Saya sendiri, selama lebih dari 30 tahun berkecimpung dan mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Saya sangat mengerti apa, siapa dan bagaimana "guru" itu sebenarnya, yang patut mendapat gelar "Pahlawan tanpa tanda jasa".

Saya pun sangat berterima kasih kepada guru-guru saya yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada saya. (Pranyoto)

Baca juga: Sebuah Kisah Minggu Siang di Kota Kompeni Tempo Doeloe: Menyaksikan Noni dan Sinyo Belanda Kongkow-kongkow