Find Us On Social Media :

Zaman Dulu, Murid Diterima Sekolah Tanpa Tes Akademik, tapi Harus Lolos Tes Fisik Sederhana Ini

By K. Tatik Wardayati, Minggu, 2 September 2018 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com – Pada tahun 1985 kedengarannya aneh, tetapi setengah abad yang ialu itu sesuatu yang umum.

Setelah membaca pengalaman P.S. Kusuma, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1985 ini, kita mungkin bisa lebih menghargai kebebasan mendapatkan pendidikan sekarang.

Suatu pagi di bulan Agustus 1934, saya dimandikan oleh lbu, Ialu diberi celana pendek biru yang agak longgar dan hampir selutut yang dipertautkan dengan kancing-kancing pada kemeja putih, sepatu hitam dan kaus kaki panjang yang diikat dengan 'kosban' (kouseband = tali elastik pengikat kaus kaki) yang sedang mode saat itu.

Saya tak suka sama sekali pakaian semacam ini. Di rumah, sehari-harinya  saya mengenakan celana monyet saja.

Baca juga: Di Tengah Gencatan Senjata, Belanda Hampir Saja Melakukan Agresi Militer Ketiga

Ayah sudah sejak tadi berpakaian rapi: jas tutup putih, kain panjang berwiron, blangkon, dan sandal kulit. Itulah seragam amtenar (pegawai negeri) rendahan di kantor Binnenlands Bestuur, kantor pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ke mana kita akan pergi? Dalam percakapan, beberapa kali saya mendengar ayah-ibu mengatakan 'sekolah'.

Sampai di sekolah, sudah banyak anak-anak yang datang dengan ayah atau ibunya masing-masing. Anak laki-laki kebanyakan berpakaian seperti saya, yang perempuan memakai blus dan rok. Semua bersepatu.

Satu-persatu calon murid dipanggil maju bersama orang tuanya. Kemudian bapak guru yang menerima murid baru mengajukan beberapa pertanyaan.

Baca juga: Kisah Kepahlawan Tiga Tokoh AURI Yang Pesawatnya Ditembak Jatuh Belanda di Langit Yogyakarta

Jawaban orang tua dicocokkan dengan daftar yang sudah ada dan dicatat seperlunya. Murid yang diterima langsung disuruh masuk ke dalam kelas.

Agak lama juga tanya-jawab antara ayah dan bapak guru berlangsung. Rasa-rasanya bapak guru  itu ragu menerima saya, mungkin karena perawakan saya yang kecil.

Saya disuruh melingkarkan lengan saya lewat atas kepala untuk meraih daun telinga di sisi kepala yang satunya. Ternyata saya bisa melakukannya. Jadi, saya diterima menjadi murid. Ayah tersenyum tentu saja, padahal saya menyesal.