Penulis
Intisari-Online.com – Jangan disalahkan, jika ada sebagian orang yang menyamakan pajak seperti upeti - lalu wajah mereka bersungut-sungut ketika membayarnya.
Sejarahnya dari dulu memang kurang lebih demikian. Rakyat memberi pajak kepada pihak penguasa. Dia bisa pemerintah, atau pihak yang menjajahnya.
Padahal pajak sebenarnya bukan cuma persoalan kekuasaan.
Sejak zaman Mesir Kuno, tepatnya masa pemerintahan Firaun, pajak sudah dikenakan terhadap komoditas perdagangan, seperti minyak goreng.
Baca juga: Sudah Bayar Pajak Rp161 Miliar Masih Dimintai Lagi Rp301 Miliar, Pantas Ronaldo Pindah ke Italia
Petugas pajak yang disebut scribes tidak segan-segan untuk melakukan audit ke rumah tangga untuk memeriksa konsumsi minyak goreng per keluarga.
Sementara pada zaman Yunani, pajak sudah diberlakukan kepada orang asing untuk membiayai perang.
Tarifnya satu drachma (mata uang Yunani kala itu) untuk pria, serta setengah drachma untuk wanita.
Bentuk-bentuk pajak seperti yang kita kenal sekarang, sudah mulai dikenal pada masa Kekaisaran Romawi.
Awalnya pajak menyasar perdagangan ekspor-impor yang disebut portoria.
Lambat laun, objek pajak semakin bervariasi seperti harta warisan, pajak penjualan, pajak budak, dan sebagainya. Tarifnya berkisar antara satu sampai lima persen.
Selain digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan serta angkatan bersenjata, hasil pajak juga dipakai antara lain untuk membayar pensiun para tentara.
Baca juga: Ada Program Penghapusan Pajak Kendaraan Bermotor 27 Juni sampai 31 Agustus, Jangan Sampai Terlewat
Kekaisaran Romawi selaku pemerintah pusat, mengangkat pejabat penarik pajak di daerah kekuasaannya.
Mereka berasal dari penduduk setempat untuk mengurus pajak dan menyetorkannya.
Karena pekerjaannya itulah, para penarik pajak ini biasanya bukan orang yang disukai oleh masyarakat setempat.
Salah satunya kisah tentang Santo Matius, salah satu murid Yesus, yang dulunya berprofesi sebagai penarik cukai di Kapernaum pada masa Kaisar Agustus.
Ketidaksukaan terhadap pajak, bisa berlanjut pada pembangkangan. Di tahun 60 SM, Ratu Boadicea, dari Anglia Timur (sekarang bagian dari Inggris) sudah menolak membayar pajak kepada Romawi.
Akibatnya pemerintah pusat mengirim ratusan ribu tentara hingga mengakibatkan 80.000 orang terbunuh.
Gambaran tentang pajak yang bisa menyasar berbagai objek dan cenderung mengada-ada, terekam dalam kisah Lady Godiva.
Bangsawan Anglo-Saxon yang hidup di daerah Coventry (sekarang Inggris) pada abad ke-11 ini rela naik kuda dalam keadaan tanpa busana, asalkan Leofric, suaminya yang sekaligus penguasa setempat, mau menghapus sejumlah pajak.
Untuk membangun Conventry, penguasa menerapkan bermacam-macam pajak, seperti pajak jika kuda buang kotoran sembarangan, pajak bingkai lukisan, dan semacamnya.
Baca juga: Bidik Data Harta Warisan, Ditjen Pajak Wajibkan Rekening Orang Meninggal Dilaporkan
Aturan-aturan perpajakan modern yang kita pakai saat ini berawal dari sistem perpajakan yang diberlakukan di Inggris, tahun 1800, yang lahir akibat konflik antara negeri itu dengan Prancis.
Sistem itu pula yang menginspirasikan keberadaan pajak penghasilan di Amerika Serikat yang mulai diberlakukan sejak tahun 1812.
Pajak progresif mulai diberlakukan dengan tarif 0,08% bagi yang berpenghasilan £ 60, serta 10% bagi penghasilan di atas £ 200.
Pada tahun 1816, Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan huistaks, semacam Pajak Bumi dan Bangunan, kepada para inlander alias bumiputera.
Baru tahun 1920 berlaku Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting (Pajak Penghasilan) dan tahun 1925 berlaku Ordonantie op de Vennootschapbelasting (Pajak Perseroan/PPh Badan).
Saat ini pajak menjadi salah satu penopang perekonomian negara dari sisi pendapatan dalam negeri.
Denmark tercatat sebagai negara dengan tarif pajak penghasilan individual terbesar, yakni tarif tertinggi bisa mencapai 68%, dengan tarif dasar 42%. (Tj – Intisari Juni 2010)
Baca juga: Benarkah Kini Kita Harus Gunakan NPWP untuk Beli Tiket Pesawat? Ini Jawaban Ditjen Pajak