Find Us On Social Media :

Lebaran di Toulouse, Wajah Bule kok Seleranya Kerupuk dan Sambal Terasi Ya?

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 14 Juni 2018 | 14:15 WIB

Intisari-Online.com – Berpuasa Ramadan serta merayakan Idul Fitri di sebuah negeri sekuler, sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan. Hati ini sempat tergetar.

Menjalani kehidupan sebagai  pelajar sebuah sekolah aeronetika di Prancis mengharuskan saya melewati dua kali bulan Ramadan dan Idul Fitri. Bagi saya yang baru pertama kali merasakan berpuasa di negara di mana muslim menjadi minoritas, ada sedikit kekhawatiran pada awalnya.

Khawatir teman kuliah dan rekan kerja bersikap sinis, sulit membeli bahan makanan halal, hingga pikiran bahwa tidak ada tempat untuk beribadah bersama.

Pikiran negatif itu langsung hilang begitu saya tiba, karena ternyata umumnya masyarakat asli Prancis cukup terbuka terhadap pendatang dan kaum muslim.

Lebih mengejutkan lagi, wajah muslim cukup banyak terlihat, dengan pemandangan orang berkopiah, baju panjang, dan wanita berjilbab. Boleh dikata, Islam menjadi agama kedua yang paling banyak pemeluknya di Prancis, atau nomor tiga jika ateisme dihitung sebagai “agama”.

Baca juga: Tetap Bugar Meskipun Punya Jadwal yang Padat Menjelang Lebaran, Tips Ini Bisa Kamu Coba Lho

Banyaknya jumlah populasi muslim merupakan hasil migrasi besar-besaran dari negara bekas jajahan Prancis di daerah Maghreb  (Tunisia, Aljazair, dan Maroko) dan Afrika Barat (Nigeria, Mali, Senegal, dll) selepas Perang Dunia II untuk membangun kembali Prancis yang porak poranda.

Beberapa tahun terakhir ditambah dengan masuknya pekerja pendatang dari negara muslim lain seperti India, Pakistan, dan Turki. Tak lupa para pelajar, mengingat Toulouse adalah kota pelajar terbanyak ketiga di Prancis. Kombinasi semua ini menjadikan Toulouse sebagai kota multietnik sesungguhnya.

Lapar sifatnya universal

Berpuasa di Eropa tahun itu (2012) sangat berat dan penuh cobaan. Ramadan berlangsung di puncak musim panas, saat terjadi canicule (serangan hawa panas). Udara panas yang bergerak dari Gurun Sahara di Afrika ke arah Eropa, membuat temperatur naik mencapai 41°C.

Cobaan kedua soal lamanya waktu berpuasa, 17 jam, dari imsak pukul 04.30 hingga magrib pukul 21.30. Yang tak kalah berat adalah cobaan ketiga, yakni godaan mata. Sebab udara panas juga membuat kaum hawa mengganti kostumnya dengan yang lebih tipis dan minim.

Memang tidak seperti di Tanah Air, di sini suasana Ramadan tak terasa sama sekali. Namun jika ingin melepas kerinduan suasana berbuka puasa, tarawih, dan ngabuburit, cukup datang ke komunitas keturunan imigran muslim dari Maghreb.

Baca juga: Lebaran, Pesta Kecil yang Jadi Besar