Find Us On Social Media :

Buku Ini Pernah Jadi ‘Medan Pertempuran’ Antara ‘PKI’ dan Pancasila

By Ade Sulaeman, Jumat, 1 Juni 2018 | 09:30 WIB

Intisari-Online.com – Dalam bulan Januari 1965, selesailah dicetak sebuah buku dengan judul Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia.

Buku itu tidak begitu dikenal di luar lingkungan yang terbatas karena oplahnya yang hanya beberapa ribu eksemplar saja, padahal dilihat dari perspektif kemudian mempunyai makna historis dan politis.

Sebabnya ialah karena terjadinya buku itu tidak dapat dipisahkan daripada perjuangan untuk mempertahankan Pancasila terhadap ofensif dari pihak PKI dibantu oleh kekuatan-kekuatan Orde Lama dalam masa-masa menjelang percobaan kup Gestapu/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965.

Baca juga: Ingin Jadi Anggota BIN? Ini 5 Syarat Utamanya, Susah Banget!

Kursus kader Revolusi

Pada akhir tahun 1964, dalam rangka “meningkatkan ofensif revolusioner sampai kepuncaknya”, dari tanggal 14 September hinggal tanggal 10 November 1964, Ir. Surachmand menyelenggarakan sebuah “Kursus kader revolusi Angkatan Dwikora”.

Seperti kita ketahui kemudian Ir. Surachman adalah oknum PKI yang berhasil diselundupkan ke dalam tubuh Partai Nasional Indonesia, dan bahkan dapat menempati kedudukan selaku Sekretaris Jenderalnya.

Kursus Kader Revolusi itu jelas dimaksudkan sebagai medium untuk menyebarluaskan indoktrinasi nasakom yang merupakan deviasi terhadap konsepsi Pancasila yang murni.

Baca juga: Kopassus Pasukan Tempur yang Didoktrin Untuk Memenangkan Pertempuran Meski Hanya Bersenjata Sebilah Pisau

Akan tetapi, sudah barang tentu kekuatan-kekuatan PKI dan Orde Lama harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan Pancasila, yang pasti tidak akan tinggal diam.

Karena itulah di dalam Tim Penyelenggara Kursus tersebut secara terus-menerus timbul pertarungan antara kedua kekuatan yang bertentangan itu.

Telah terjadi usaha-usaha dari pihak PKI/Orde Lama untuk mengadakan manipulasi di dalam penentuan dosen-dosen maupun asisten-asisten para dosen.

Dosen atau asisten yang Pancasilais mereka cap “Manikebu” (Cap “Manikebu” lama-kelamaan tidak lagi ada hubungan langsung dengan “Manifes Kebudayaan”, melainkan dipergunakan untuk memojokkan orang-orang yang berani dan mampu melawan mereka pada bidang sosial-budaya, meskipun orang-orang itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan manifes tersebut).

Baca juga: Turki 'Ngotot' Ingin Serang Israel, Militer AS pun Pontang-Panting Mencegahnya

Mata pelajaran sejarah pergerakan nasional

Adalah tipis, bahwa pihak PKI sangat memberikan perhatian kepada mata pelajaran sejarah, berlainan dengan kekuatan-kekuatan Pancasila yang hingga saat kini pun masih juga belum menyadari akan vitalnya peranan sejarah di dalam sesuatu perjuangan ideologi dan politik.

(Bukankah hingga akhir tahun 1965 tidak ada satupun buku sejarah mengenai Pemberonakan PKI – Muso di Madiun juga tidak ditulis oleh pihak PKI?)

Panitia penyelenggara Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora menentukan adanya mata pelajaran “Sejarah Pergerakan Nasional” dengan item pengajar nasakom yang terdiri dari:

  1. Ali Sastroamijoyo SH (NAS)
  2. Aruji Kartawinata (A)
  3. A. Anwar Sanusi (KOM)

Masih berhasil diperjuangkan masuknya satu lagi pengajar yang jelas tidak dapat dimanipulasi oleh PKI, yakni:

  1. Jenderal Dr. A.H. Nasution

Dalam tim empat orang itu, segera timbul ketegangan antara Jenderal Nasution dan A. Anwar Sanusi mengenai reproduksi dari bahan-bahan pelajaran.

Jenderal Nasution menghendaki, agar supaya bahan pelajaran masing-masing di antara keempat orang pengajar itu diperbanyak secara tersendiri.

Sedangkan Anwar Sanusi membuat “move” untuk “mempersatukan” keempat diktat itu menjadi satu dengan demikian ia dapat meng-eliminir diktat Jenderal Nasution yang dicapnya “manikebu” itu.

Buku sejarah pergerakan nasional satu-satunya

Tetapi rencana A. Anwar Sanusi lebih jauh daripada sekadar mengeliminir diktat Jenderal Nasution.

Ia bermaksud pula untuk menyusun sebuah buku “Sejarah Pergerakan Nasional” yang nanti akan dimintakan pengesahan dari Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, sebagai satu-satunya buku Sejarah Pergerakan Nasional yang berlaku dan boleh dipakai di dalam Negara Republik Indonesia.

Setelah keluarnya buku itu, maka buku-buku yang lain akan dinyatakan tidak boleh diterbitkan, tidak boleh beredar atau terlarang.

Demikianlah ancaman pada bidang sejarah yang datang dari pihak PKI dengan A. Anwar Sanusi selaku “project officer”nya.

Ofensif-balas dari staf angkatan bersenjata

Selaku asisten-asisten di dalam memberikan pelajaran pada Kursus Kader Revolusi tersebut, Jenderal Nasution menunjuk Mayor Jenderal Wiluyo Puspoyudo dan Mayor Jenderal S. Sokowati dengan bantuan teknis dari Kolonel (sekarang Brigadir Jenderal) Mas Dartoyo.

Selaku asisten di dalam menguji para peserta Kursus dan sekaligus selaku project officer untuk menghadapi “move-move” dari pihak Anwar Sanusi, Jenderal Nasution menunjuk Mayor Jenderal (sekarang Letnan Jenderal) A.J. Mokoginta dengan bantuan teknis pengarang artikel ini.

Menghadapi move untuk menerbitkan “satu-satunya buku sejarah pergerakan nasional yang sah” itu, Jenderal Nasution memerintahkan kepada Mayor Jenderal A.J. Mokoginta untuk dalam waktu “satu dan dua bulan” menyiapkan sebuah naskah “sejarah pergerakan nasional di bidang bersenjata”.

Menurut Jenderal Mokoginta, perintah itu telah dua kali dicoba untuk melaksanakannya dengan bantuan sejarawan-sejarawan resmi dari keempat Angkatan Bersenjata, tetapi mereka semuanya menyarankan, bahwa hal itu tidak mungkin, atau setidaknya mereka tidak sanggup melakukannya.

Maka pada waktu itu disarankan oleh Kolonel (sekarang Brigadir Jenderal) Sunarso, yang pada waktu itu masih menjadi guru Seskoad, untuk memanggil pengarang artikel ini yang kebetulan juga menjadi guru Seskoad.

Atas pertanyaan Jenderal Mokoginta, saya (pengarang artikel ini)  menyatakan diri sanggup untuk menulis buku sejarah sesuai dengan keinginan Jenderal Nasution itu di dalam waktu “satu dan dua bulan”, yakni dengan pengerahan suatu tim gabungan badan-badang sejarah Angkatan-angkatan dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Tugas itu dimulai pada tanggal 14 Juli 1964 dan selesai tanggal 14 September 1964, jadi tepat dalam jangka waktu yang diberikan.

Tugas itu pastilah tidak dapat terlaksana tanpa kepemimpinan dari Jenderal Mokoginta yang dengan kombinasi sikap bijaksana dan sikap tegas, berhasil menyingkirkan pelbagai hambatan terhadap suksesnya proyek tersebut.

Sayang sekali, pencetakan naskah buku tersebut memakan waktu yang lebih lama daripada waktu menyusunnya.

Baru empat bulan kemudian dalam bulan Januari 1965 buku itu dapat selesai dicetak dengan kata sambutan dari Menko Hankam/Kasab beserta keempat Panglima Angkatan.

Di dalam meminta kata sambutan itu pun dialami hambatan-hambatan tertentu karena faktor-faktor politis yang berhasil menyelinap ke dalam beberapa Angkatan.

Nasib buku Anwar Sanusi

Sementar aitu A. Anwar Sanusi menyalahgunakan jabatannya selaku Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional untuk meluncurkan proyek penulisan “Sejarah Pergerakan Nasional” yang akan diberi kedudukan monopoli itu.

Supaya buku itu memperoleh legitimasi “dukungan politis dan teknis” yang luas, maka tim yang dipimpinnya itu mengudang tokoh-tokoh dari partai-partai nasakom beserta tenaga-tenaga ahli dari pelbagai departemen.

Dari partai-partai akhirnya duduk Anwar Sanusi sendiri dari PKI. Karyoso WS dari “Nas”, Kyai Haji Sapari dan Solichin Salam dari “A”, sedangkan dari ABRI adalah Brigadir Jenderal Sugandhi.

Sebagai tenaga ahli Anwar Sanusi memilih Sumarjo dan Tan Leo Nio SH dari departemen-departemen yang akhirnya menunjuk tenaga ahlinya, hanya Departeman PTIP, yang menterinya Brigadir Jenderal (sekarang Mayor Jenderal) dr. Syarif Thayeb menunjuk penulis karangan ini.

Dengan sekuat tenaga Anwar Sanusi berusaha untuk menyingkirkan penulis karangan ini dari Tim yang dipimpinnya, tetapi kecuali Sumardjo dan Tan Liep Nio yang tidak menyatakan sikap terbuka, anggota lain mempertahankan duduknya penulis ke dalam tim dengan menolak tuduhan “manikebu”.

Dengan demikian penulis dapat tetap duduk di dalam tim Anwar Sanusi.

Di dalam tim itu, ternyata Anwar Sanusi tidak berhasil menguasai anggota-anggota dari orpol dan ormas, sehingga versi yang telah dipersiapkannya dengan cermat dengan bantuan Sumarjo, tidak dapat gol, karena ditolak oleh anggota-anggota lain.

Terhadap diri penulis, dipergunakan siasat “undangan terlambat”, yakni undangan dikirimkan sehari sesudah rapat berlangsung.

Tetapi penulis selalu mendapat “telepon” lewat Staf Angkatan Bersenjata, bahwa akan ada rapat tim, sehingga selalu dapat hadir.

Dalam rapat terakhir tim Front Nasional tersebut, penulis membawa satu eksemplar buku Sejarah Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia oleh Tim Mokoginta cs, yang sementara itu telah terbit; dengan terkejut Anwar Sanusi membalik-balik halaman buku tersebut di hadapan semua anggota sambil berkatata, “Wah, mereka sudah selesai dengan bukunya, kita masih belum.”

Sejak rapat itu, ternyata tidak pernah lagi diadakan rapat Tim Front Nasional tersebut. Hasil dari tim itu hanyalah suatu draft sementara yang dirahasiakan, tetapi dapat diperoleh oleh penulis secara tidak resmi.

Draft itu tidak pernah diselesaikan hingga saat meletusnya peristiwa Gestapu/PKI delapan bulan kemudian.

Dengan demikian Tim Mokoginta berhasil mematahkan ofensif dari pihak Anwar Sanusi. Jika ada pendapat, bahwa Anwar Sanusi gagal karena di dalam timnya terhadap unsur-unsur lawannya, maka hal yang sama dialami pula oleh Tim Mokoginta.

Tim Mokoginta mengalami rongrongan dari dalam dari pihak oknum yang bersimpati kepada pihak “sana”. Tetapi hambatan-hambatan itu berhasil ditembus oleh ketua tim.

Follow up di dalam staf Angkatan Bersenjata

Setelah selesainya draft buku Sejarah Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia tersebut, sebagai follow-up Menko Hankam/Kasab memutuskan untuk membentuk sebuah Biro Khusus Urusan Sejarah di dalam lingkungan Staf Angkatan Bersenjata (SAB).

Kepada penulis diberikan kepercayaan untuk membina Biro tersebut yang akhirnya berkembang menjadi Lembaga Sejarah Hankam, di dalam lingkungan Departemen Hankam yang sekarang.

Pada tahun 1966, setelah Orde Lama dipatahkan oleh kekuatan-kekuatan Orde Baru, bahan-bahan pelajaran sejarah Jenderal Nasution pada Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora, yang hendak di-eliminir oleh Anwar Sanusi, akhirnya juga dapat diterbitkan sebagai buku tersendiri, dengan judul Sejarah Perjuangan Nasional di bidang Bersenjata.

Demikianlah sekelumit kisah “silent operation” pada zaman Orde Lama.

(Ditulis oleh Nugroho Notosusanto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1969)

Baca juga: Dari Pembantaian Sipil Hingga Tragedi Perang Vietnam, Inilah Foto-foto Paling Mendebarkan Sepanjang 1968