Find Us On Social Media :

Buku Ini Pernah Jadi ‘Medan Pertempuran’ Antara ‘PKI’ dan Pancasila

By Ade Sulaeman, Jumat, 1 Juni 2018 | 09:30 WIB

Baru empat bulan kemudian dalam bulan Januari 1965 buku itu dapat selesai dicetak dengan kata sambutan dari Menko Hankam/Kasab beserta keempat Panglima Angkatan.

Di dalam meminta kata sambutan itu pun dialami hambatan-hambatan tertentu karena faktor-faktor politis yang berhasil menyelinap ke dalam beberapa Angkatan.

Nasib buku Anwar Sanusi

Sementar aitu A. Anwar Sanusi menyalahgunakan jabatannya selaku Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional untuk meluncurkan proyek penulisan “Sejarah Pergerakan Nasional” yang akan diberi kedudukan monopoli itu.

Supaya buku itu memperoleh legitimasi “dukungan politis dan teknis” yang luas, maka tim yang dipimpinnya itu mengudang tokoh-tokoh dari partai-partai nasakom beserta tenaga-tenaga ahli dari pelbagai departemen.

Dari partai-partai akhirnya duduk Anwar Sanusi sendiri dari PKI. Karyoso WS dari “Nas”, Kyai Haji Sapari dan Solichin Salam dari “A”, sedangkan dari ABRI adalah Brigadir Jenderal Sugandhi.

Sebagai tenaga ahli Anwar Sanusi memilih Sumarjo dan Tan Leo Nio SH dari departemen-departemen yang akhirnya menunjuk tenaga ahlinya, hanya Departeman PTIP, yang menterinya Brigadir Jenderal (sekarang Mayor Jenderal) dr. Syarif Thayeb menunjuk penulis karangan ini.

Dengan sekuat tenaga Anwar Sanusi berusaha untuk menyingkirkan penulis karangan ini dari Tim yang dipimpinnya, tetapi kecuali Sumardjo dan Tan Liep Nio yang tidak menyatakan sikap terbuka, anggota lain mempertahankan duduknya penulis ke dalam tim dengan menolak tuduhan “manikebu”.

Dengan demikian penulis dapat tetap duduk di dalam tim Anwar Sanusi.

Di dalam tim itu, ternyata Anwar Sanusi tidak berhasil menguasai anggota-anggota dari orpol dan ormas, sehingga versi yang telah dipersiapkannya dengan cermat dengan bantuan Sumarjo, tidak dapat gol, karena ditolak oleh anggota-anggota lain.

Terhadap diri penulis, dipergunakan siasat “undangan terlambat”, yakni undangan dikirimkan sehari sesudah rapat berlangsung.

Tetapi penulis selalu mendapat “telepon” lewat Staf Angkatan Bersenjata, bahwa akan ada rapat tim, sehingga selalu dapat hadir.