Biarkan Anak Memilih Sendiri Jurusannya

Nur Resti Agtadwimawanti

Penulis

Biarkan Anak Memilih Sendiri Jurusannya

Intisari-Online.com - Masa Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan masa ketika anak sudah lebih fokus pada pilihan kuliah dan karier. Anak harus punya pertimbangan area minat: IPA atau IPS. Bahkan saat SMA kelas 1 itu bukan hanya tahu minatnya ke area apa, tapi sudah punya perkiraan mengenai kuliah. Mau kuliah di mana, mengambil jurusan apa, dan syarat-syaratnya apa. Idealnya itu sudah dipikirkan.

Akan tetapi, yang kerap terjadi mereka belum terlalu memikirkan hal tersebut. Alhasil, orangtua "menyetir" untuk memilih jurusan tertentu dengan alasan obsesi pribadi atau pertimbangan lain. Ada anak yang mengiyakan pilihan orangtua, ada yang tidak. Seyogianya sih orangtua memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan. Biarkan anak mencari tahu apa yang diminatinya. Orangtua juga perlu memotivasi anaknya untuk mengikuti pelbagai jenis kegiatan. Terlebih bagi yang belum begitu peduli dalam pemilihan jurusan atau pun karier.

Menurut L. Harini Tunjungsari, M.Psi, psikolog dari Universitas Katolik Indonesia Atmajaya, “Ada tipe anak tertentu yang tidak begitu mudahnya meng-iya-kan perkataan orangtuanya.” Anak macam itu punya motivasi sendiri. Dia tahu apa yang dia mau.

Anak yang punya power sendiri dan kebetulan minatnya berbeda dengan orangtua, yang diperlukan adalah dialog. Orangtua harus memikirkan cara bagaimana mereka bisa berdiskusi secara sepadan. “Masing-masing boleh menjual kelebihan dan menyerang kekurangan jurusan yang diajukan lawan bicara,” jelas Harini. Namun memang orangtua harus tetap memberikan pendampingan dan penjelasan kepada anak tentang jurusan dan profesinya kelak.

Entah karena pilihan orangtua, ikut-ikutan dengan temannya, atau memilih jurusan yang banyak dipilih orang, ternyata punya dampak yang sama bila jurusan tersebut tidak sesuai minat dan bakat. Motivasi belajar bisa menurun, prestasi ikut kandas, bahkan gagal lulus ada di depan mata. Tentu tidak ingin ini terjadi, 'kan?

Perlu tes minat bakat?

Tes minat dan bakat yang difasilitasi tenaga profesional terkadang juga dibutuhkan. Apalagi bila anak belum paham betul mengenai minat dan bakatnya. Bagi yang sudah yakin akan pilihan jurusannya, tes macam ini mungkin tidak terlalu perlu. Karena toh dengan keyakinan, bisa memunculkan komitmen untuk tekun dalam perkuliahan.

Sebetulnya tes ini bisa saja dilakukan sejak SMP, tapi menurut Harini, akan lebih tampak detailnya ketika anak sudah di bangku SMA. Tes yang dilakukan di SMP biasanya hanya untuk rujukan ke mana anak bisa melanjutkan sekolahnya, SMA atau SMK. Pada dasarnya tes psikologi untuk minat bakat itu menggali sisi kognitif. Kita bisa lihat potensi yang terkait dengan penalaran bahasa, angka, atau gambar. Namun sayangnya, menurut Harini, belum ada tes psikologi yang bisa melihat bakat untuk area praktik.

Lagipula, hasil tes masih harus dikombinasikan dengan berbagai kegiatan yang ditekuni si anak, nilai rapor, dan seberapa jauh ia bisa membawakan diri ketika bersama orang lain. Menurut pemaparan Harini, seharusnya orangtua tahu persis mengenai hal ini. Kuncinya, orangtua bersedia punya pemikiran yang netral dan mau mengumpulkan berbagai informasi tentang anaknya. Entah itu mengobrol dengan guru sekolahnya atau guru di tempat les. Nah, bagaimana dengan anak Anda?