Penulis
Intisari-Online.com -Rengasdengklok hampir saja jadi pusat pemerintahan Indonesia Merdeka jika skenario perebutan kekuasaan dari Jepang yang direncanakan para pemuda pada tahun 1945 berjalan mulus. Tetapi karena Bung Kamo dan Bung Hatta "dilarikan" ke kota kecil ini pula, hari keramat jatuh pada tanggal 17 bukan 16 Agustus.
Nama Rengasdengklok selalu muncul mengisi halaman media massa pada saat menjelang peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI. Soalnya, sehari menjelang proklamasi kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta "dilarikan" ke kota kecil yang letaknya 20 km sebelah utara Karawang, Jawa Barat, ini.
Sudah banyak versi yang mengungkapkan, bagaimana kisah dua tokoh proklamator tersebut selama dalam perjalanan sampai berada di tangsi Peta (Pembela Tanah Air) Rengasdengklok dan akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Tetapi dari sedikit catatan tentang peristiwa itu, ternyata almarhum Bung Hatta sebagai salah seorang pelakunya pernah menulis Peristiwa Rengasdengklok.
Bung Hatta juga pernah berkunjung ke kota kecil ini pada tahun 1973 bersama dengan Brigjen Nugroho Notosusanto yang saat itu menjabat kepala Pusat Sejarah ABRI. Tidak banyak diketahui umum hasil pembicaraan dalam rekonstruksi sejarah proklamasi kemerdekaan RI dengan kota kecil ini karena pembicaraan dilakukan di deruang tertutup. Namun jauh sebelumnya, Bung Hatta pernah menuangkan pengalamannya dalam Mimbar Indonesia 17 Agustus 1951 no. 32/33, menanggapi buku Sedjarah Peidjuangan Indonesia yang kemudian dijadikan salah satu lampiran buku Documents Historica yang disusun Osman Raliby.
Tulisan tersebut bertujuan meluruskan sejarah detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan RI, ketika Bung Karno, Bung Hatta, dan Ibu Fatmawati bersama Guntur yang saat itu baru berusia sekitar tiga bulan, dibawa ke Rengasdengklok.
Kisah perjalanan yang acap kali disebut sebagai "penculikan" itu sudah banyak diungkapkan dengan banyak versi. Sebagai salah seorang pelaku yang mengalami langsung peristiwa tersebut, untuk pertama kalinya Bung Hatta menuangkan pengalamannya secara tertulis dan sekaligus memberikan analisisnya tentang kegagalan skenario proklamasi Indonesia Merdeka yang direncanakan para pemuda.
Ketika menyusun tulisan tersebut, tentu saja ingatan Bung Hatta masih sangat segar. Peristiwa yang dialami, baru enam tahun berlalu.
Sebuah versi
Tulisan itu terutama sekali menyoroti halaman 90 buku karangan Muhammad Dimyati yang dijadikan acuan tulisan tersebut tentang bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok. Satu dari banyak versi kisah "penculikan" yang termuat dalam buku itu antara lain mengungkapkan:
"Pada tanggal 16 Agustus djam 4.30 pagi berangkatlah Bung Karno-Hatta keluar dari kota Djakarta, dengan mobil, diantarkan oleh Sukarni dan 3 Kunto menudju ke tangsi Rengasdengklok, karena dikuatirkan kedua pemimpin itu akan diperalatkan oleh Djepang kalau tetap tinggal dirumahnja.
Tangsi Peta Rengasdengklok pada waktu itu sudah dikuasai oleh pemuda-pemuda Indonesia jang akan memberontak kepada Djepang. Disana diadakan perundingan untuk segera memproklamirkan Indonesia Merdeka. Karena belum tertjapai kata sepakat dan kebulatan tekad, kemudian pada malam tanggal 17 Agustus djam 12 perundingan diteruskan disebuah gedung di Nassauboulevard-straat kota Djakarta.
Disitulah berkumpul segenap pemimpin-pemimpin Indonesia dan anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia jang tadinja dilantik oleh Djepang tapi sedjak waktu itu Sukami menjorongkan teks Proklamasi Indonesia Merdeka dimana dibawahnya memakai kalimat: 'Bahwa dengan ini rakjat Indonesia menjatakan kemerdekaannja. Segala badan-badan jang ada harus direbut dari orang asing jang masih mempertahankannja."'
Susunan kalimat serupa itu tidak mendapat persetujuan dari hadirin dan minta diubah yang agak halus. Akhirnya Sajuti Melik (MI Sajuti) dapat memecahkan kesulitan itu dengan mengemukakan susunan: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lainnja diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja."
Menurut Bung Hatta, di sini "dongeng" telah berubah. Soekarno tetap tinggal di rumahnya, dibawa kembali ke Jakarta untuk meneruskan perundingan yang tidak selesai di Rengasdengklok. Dalam uraian yang beberapa kalimat saja, begitu selanjutnya Bung Hatta menulis, sudah ada jalan pikiran yang bertentangan. Dikhawatirkan kedua pemimpin akan diperalat oleh Jepang, tetapi mereka dibawa kembali ke Jakarta.
Dalam legenda baru ini muncul Sajuti Melik sebagai seorang yang memberikan kata penghabisan tentang isi proklamasi. Menurut Bung Hatta, dokumen yang asli membuktikan bahwa proklamasi itu ditulis oleh Bung Karno sendiri, sedangkan patokan kalimatnya dan gaya bahasanya sama sekali tak sesuai dengan stijl Sajuti Melik.
Sebelum jagung berbunga
Tampil dengan judul tulisan "Legenda dan Realitat Sekitar Proklamasi 17 Agustus", Bung Hatta mengungkapkan awal pengalamannya tatkala bersama-sama dengan Bung Karno dan Dr. Radjiman Wedjodiningrat diundang ke Dalat (Indocina) oleh Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Jenderal Terautji untuk menerima putusan pemerintah Jepang tentang Indonesia Merdeka. Dalam pertemuan resmi tanggal 12 Agustus itu, Jenderal Terautji berkata, "Terserah kepada Tuan-tuan akan menetapkan kapan Indonesia akan merdeka."
Waktu kembali, di Singapura, ketiga utusan tersebut secara kebetulan bertemu dengan Mr. Teuku Hasan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas yang semuanya adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatera. Secara bersama-sama, mereka juga akan bertolak ke Jakarta. Selain itu juga mereka mendengar kabar bahwa Rusia sudah mengumumkan perang kepada Jepang dan sudah menyerbu ke Mancuria.
Setelah bertukar pikiran, "Kami semua berkeyakinan bahwa kalahnya Jepang tidak akan berbilang bulan lagi. Melainkan berbilang minggu. Karenanya, pernyataan Indonesia Merdeka harus dilakukan secepatnya."
Setelah tiba di Jakarta, tanggal 14 Agustus 1945, masih di Lapangan Terbang Kemayoran, Bung Karno berpidato di depan masyarakat yang menyarnbutnya: "Kalau dulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga."
Sore hari itu juga, Sjahrir datang kepada Bung Hatta menyampaikan berita bahwa Jepang telah meminta damai kepada Sekutu, lalu ia bertanya bagaimana soal kemerdekaan kita. "Jawab saya, soal kemerdekaan kita adalah semata- mata di tangan kita," tulisnya.
Sjahrir mengusulkan, pernyataan kemerdekaan Indonesia janganlah dilakukan oleh Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebab Indonesia Merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang. Sebaik baiknya, Bung Karno sendiri saja menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan melalui corong radio.
Ternyata Bung Karno tidak setuju dengan usul Sjahrir, karena sebagai Ketua Badan Persiapan, ia tidak bisa bertindak sendiri dengan melewati saja badan tersebut. Selanjutnya Bung Kamo menyatakan ingin mendapat keterangan dulu dari Gunseikanbu tentang berita Jepang menyerah itu.
"Setelah keesokan harinya, tanggal 15 Agustus, ternyata Jepang memang meminta berdamai," tulis Bung Hatta selanjutnya, "kami putuskan mengundang Panitia Persiapan berapat tanggal 16 Agustus pukul 10 pagi di kantor Dewan Sanyo Pejambon 2."
Pernyataan Indonesia Merdeka harus dilakukan secepatnya, Undang-Undang Dasar harus dimufakati dengan tiada banyak berdebat dan susunan pemerintahan Indonesia di pusat dan di daerah harus dapat diselenggarakan dalam beberapa hari saja. Anggota Panitia Persiapan dari luar Jawa harus kembali selekas-lekasnya ke daerah masing-masing dengan membawa instruksi yang lengkap dari pemerintah Indonesia Merdeka.
Waktu tidak boleh terbuang, karena kalau terlambat pulang, mungkin mereka dialang-alangi berangkat oleh Jepang yang sejak menyerah, kedudukannya di Indonesia hanya sebagai juru kuasa Sekutu saja. Sungguh Jepang telah menyetujui kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang di Indonesia boleh diperintah Sekutu untuk menindas dan melikuidasi Indonesia Merdeka.
"Kami juga harus memperhitungkan bahwa Sekutu akan mencoba mengembalikan Indonesia ke bawah pemerintah Hindia-Belanda," tulisnya selanjutnya. Karena itu, revolusi yang diorganisasikan harus ada sehingga barulah kemerdekaan dapat dipertahankan dengan perjuangan yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan atas keyakinan inilah Bung Hatta menolak teori merebut kekuasaan oleh pemuda, Peta, dan rakyat yang dianjurkan kepadanya pada sore hari itu juga oleh almarhum Subianto dan Subagio.
Menurut Bung Hatta, perebutan kekuasaan harus didahului oleh pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno melalui corong radio. "Kepada kedua pemuda itu saya tegaskan bahwa saya suka revolusi, akan tetapi menolak putsch," tuturnya. Tetapi keterangan tersebut rupanya tidak memuaskan, bahkan sebaliknya menimbulkan kekecewaan di kemudian hari, Subianto yang sejak zaman pendudukah Jepang memiliki hubungan yang akrab seperti anak dengan ayahnya, akhirnya menjauhi Bung Hatta. Tetapi belakangan, pemuda yang kecewa itu kembali lagi ke orang yang menganggapnya sebagai anak dan menyatakan pendirian Bung Hatta yang benar. Sejak itu ia menerima tugas-tugas penting dari Bung Hatta sampai akhirnya meninggal di Serpong.(Her Suganda/Intisari)