Find Us On Social Media :

Cerita para Istri Terpidana Kasus Marsinah: "Tuhan akan Mengungkap Pelaku Sebenarnya"

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 1 Mei 2018 | 16:30 WIB

Intisari-Online.com - Mereka yakin, suami masing-masing tak bersalah.

"Semua itu bohong dan fitnah," ujar seorang di antaranya. Demi membebaskan sang suami, sampai ada yang minta bantuan "orang pintar".

Toh pengadilan tetap menyatakan suami mereka bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara antara 12-17 tahun—meski akhirnya mereka dibebaskan.

Begini cerita para istri terpidana kasus Marsinah yang dimuat Tabloid Nova edisi 10 Juli 1994.

Semua datang begitu mendadak. Tanpa tanda dan firasat apa pun, sang suami mendadak direnggut dari sisi mereka.

Itulah yang dialami Ny. Suprayogi, Ny. Rukiyati, Ny. Yuliana, dan Ny. Yudi Susanto.

Mereka ini adalah istri Suprayogi, Suwono, Widayat, serta Yudi Susanto, sebagian dari terdakwa kasus pembunuhan Marsinah yang pada awalnya dijatuhi hukuman antara 12 hingga 17 tahun penjara.

Baca juga: Mun'im Idries: Buruh Marsinah Mati Ditembak Aparat

"Bayangkan, siang tanggal 1 Oktober 1993 itu Mas Wono mestinya sudah pulang dari jaga di PT CPS Porong," kisah Rukiyati, waktu itu 36 tahun, pada NOVA, Selasa, 28 Juni 1994.

Suwono, suami Rukiyati, bekerja sebagai satpam di pabrik itu. Memang, lanjut Rukiyati, "Sebelumnya adik saya yang juga bekerja di CPS bercerita, ada petugas datang memeriksa ke pabrik. Tapi saya sama sekali enggak curiga bahwa merekalah yang 'menjemput'suami saya.”

Namun setelah sekian hari Suwono belum juga kembali, Rukiyati mulai cemas.

"Saya tanya ke teman-teman satpamnya di pabrik. Tapi mereka juga enggak tahu," tutur Rukiyati yang terus mencari tanpa lelah.

Si bungsu tak diberi tahu

Teka-teki baru terjawab, meski sebagian, pada tanggal 19 Oktober 1993. Sekitar pukul 16.00, ada petugas kepolisian datang ke rumahnya dengan membawa surat.

"Di situ disebutkan, saya sudah boleh menjenguk Mas Wono di Polda Jatim. Wah, tambah cemas saya. Salah apa suami saya kok sampai ditahan polisi?"

Esok harinya, Rukiyati berangkat ke Polda ditemani tetangganya yang sama-sama kehilangan suami, Ny. Suprayogi.

Baca juga: Nahas, Sedang Bekerja di Pinggir Sungai, Seorang Buruh di Riau Tewas Diterkam Buaya

Tiba di markas Polda Jatim, "Mas Wono betul ada di sana. Badannya kurus, wajahnya pucat. Di tubuhnya juga banyak terdapat luka bekas penganiayaan," tutur Rukiyati yang langsung sesenggukan melihat keadaan sang suami yang menyedihkan.

"Sampai jatah waktu 10 menit yang tersedia cuma kami habiskan untuk saling bertangisan."

Baru pada kesempatan menjenguk berikutnya, Rukiyati bisa mendengar langsung dari Suwono, apa yang sebenarnya terjadi.

"Mas Wono cerita, dia ditahan dengan tuduhan turut berkomplot menghabisi Marsinah. Saya kan kaget. Langsung saja saya tanya, benar atau tidaknya tuduhan itu. Eh, dia malah ngamuk. Dia berkali-kali mengatakan, sama sekali tak tahu-menahu tentang adanya pembunuhan terhadap salah satu buruh PT CPS itu."

Malah, karena keyakinannya itu, Wono mengaku disiksa petugas yang menahannya.

Saat Suwono diajukan ke pengadilan, Rukiyati rajin mengikuti sidang. Ia tak pernah beranjak dari ruang sidang dan tekun mengikuti semua percakapan.

Ia pun tak peduli pada gunjingan para pengunjung sidang yang menganggap Suwono benar-benar terlibat.

"Tapi kurang beberapa hari menjelang putusan, saya dilarang Mas Wono mengikuti sidang. Dia takut, saya enggak kuat. Maklum, jantung saya memang agak lemah," tuturnya pelan.

Sampai artikel ini ditulis pertama kali,  Ruk tetap tak mau menceritakan hal sebenarnya pada putri bungsunya yang duduk di kelas 2 SD.

Baca juga: May Day atau Mayday? Perbedaannya Sangat Besar tapi Jarang Orang Tahu

Tiap si kecil yang cerdas ini menanyakan di mana ayahnya, Rukiyati selalu mengatakan, Suwono sedang bertugas.

"Bahkan pernah saya bohongi, bapaknya dapat tugas ke Bosnia," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

Karena itu pula, Ruk tak pernah mengajak si bungsu menjenguk ayahnya.

"Mas Wono sendiri yang melarang. Sebab dia tak akan tahan melihat wajah anaknya."

Untuk mengetahui kabar tentang anaknya, Suwono cukup mendengar dari istrinya yang membesuk 2 kali seminggu.

Meski 100 persen yakin suaminya tak bersalah, Rukiyati mengaku pasrah. Pernah memang, Suwono memintanya mencari pertolongan lewat "orang pintar". Anjuran itu diturutinya.

Beberapa tempat di Jawa Timur sudah ia datangi. Uang arisan Rp1,2 juta yang sedianya hendak dipakai membetulkan rumah, sampai ludes demi sang suami.

Begitu pula skuter Suwono yang kreditnya belum lunas.

"Tapi hasilnya belum ada," keluh Rukiyati.

Doyan ayam panggang

Seperti halnya Rukiyati, Ny. Suprayogi pun percaya suaminya tak mungkin terlibat dalam kasus pembunuhan Marsinah.

"Bapak itu terkenal baik dan sopan di desa ini. Apalagi dia kan bekas kepala desa. Rasanya mustahil dia tega melakukan perbuatan sekeji itu," tandas Ny. Suprayogi yang menerima surat perihal penahanan suaminya tanggal 19 Oktober 93.

Tak habisnya Ny. Prayogi menyesali keadaan yang menimpa suaminya.

Baca juga: Pelukis Affandi di Mata Anak Perempuannya: Hari Buruh, Seks, Seni, dan Pendidikan Anak

"Tapi saya yakin, kok, Tuhan akan mengungkap, siapa pelaku sebenarnya. Saya percaya karma. Dosa yang dilakukan orang itu akan berbalik menimpa keluarga maupun anak-cucunya di kemudian hari," tandas Ny. Suprayogi.

“Dulu Tuhan mengabulkan doa saya minta anak, dan terkabul, meski sebelumnya kami sudah 11 tahun tak dikaruniai anak."

Selama sang suami berada dalam tahanan, tugas rutin Ny. Suprayogi adalah memenuhi kebutuhan suaminya sekaligus menghiburnya.

Balsem dan ayam panggang adalah barang yang paling sering dipesan sang suami.

"Bapak memang doyan sekali makan ayam panggang," tuturnya.

Seusai membesuk, Ny. Suprayogi kembali menjalani hari-hari nan sepi.

Apalagi, kedua anaknya waktu itu sudah tak tinggal lagi bersamanya.

"Dulu sih saya biasa menemani Bapak nonton bola di teve sampai malam. Tapi sekarang, biarpun ada Piala Dunia, saya nggak punya teman menonton," keluhnya.

Tinggal di pabrik

"Bohong! Itu semua fitnah!" ujar Ny. Yudi Susanto berapi-api di sela-sela sidang putusan terhadap suaminya di PN Surabaya, Kamis, 30 Juni 1994.

Hari itu ia memang terlihat lebih tegang ketimbang biasanya. Sama sekali ia tak mau diganggu, meski oleh keluarganya sekalipun.

Sejak suaminya ditahan, Ny. Yudi memang otomatis mengambil alih pekerjaan suaminya sebagai pimpinan pabrik PT CPS di Rungkut dan Porong—yang kini sudah terkubur lumpur Lapindo.

Baca juga: (Foto) Ada Tangan-tangan Penuh Luka dari para Buruh Ini di Balik 'Keindahan' Produk-produk Apple

"Saya dan anak-anak bahkan terpaksa tinggal di pabrik," ungkapnya saat itu.

Hal ini karena rumah mereka di Jalan Puspita, Surabaya, dijadikan barang bukti. Sebab, sesuai dakwaan, di rumah itulah Marsinah disiksa dan dibunuh.

Selama sidang, Ny. Yudi berusaha tampil tegar. Bahkan ia tak bereaksi ketika hakim ketua menjatuhkan hukuman 17 tahun penjara.

Tapi itu cuma sesaat. Beberapa menit kemudian, emosinya tak terbendung lagi. Dan menangislah dia sembari bergegas meninggalkan ruang sidang.

Di halaman, ia berjumpa kembali dengan suaminya yang tengah dikawal menuju mobil tahanan. Yudi segera memeluk istrinya. Sambil berpelukan, mereka menangis.

Tak ada sepatah kata pun yang terucap hingga petugas memisahkan mereka dan meminta Yudi masuk ke mobil tahanan.

Melayani rias pengantin

Dari keempat istri terpidana kasus Marsinah ini, hanya Yuliana, yang kelihatannya paling tenang.

Tanggal 27 September 1993, ketika suaminya, Widayat, belum juga pulang dari pekerjaannya di bagian maintenance PT CPS, perempuan yang waktu itu sudah punya dua anak ini mengaku tak cemas.

"Soalnya, sebelum itu suami saya cerita, sempat diperiksa petugas sehubungan dengan kematian salah satu buruh di pabrik tempat dia bekerja," tuturnya pada NOVA, Sabtu, 2 Juli 1994.

Widayat, kata Yuliana, memang biasa menuturkan segala peristiwa yang terjadi di kantor.

"Kalau habis rapat, misalnya, dia selalu cerita apa isi rapatnya, dan siapa saja yang hadir," tutur Yuliana.

Meski yakin suaminya tak pulang karena diperiksa, tak urung Yuliana cemas dan mendatangi pabrik keesokan paginya.

Baca juga: Miliki Alam Indah, Ternyata 7 Negara Ini Dinyatakan Sebagai Negara dengan Tingkat Pembunuhan Tertinggi di Dunia

"Dari Pak Yudi Astono dan Bu Mutiari, saya diberi tahu, memang ada petugas datang ke pabrik sehari sebelumnya. Tambah yakinlah saya bahwa dia memang sedang diperiksa," kisah Yuliana yang kemudian mengecek pada buku tamu pabrik.

Dari situlah ia mendapat instansi asal si petugas. Tapi setelah ia datang ke sana, "Petugasnya bilang, Mas Widayat enggak ada di situ."

Seperti ketiga wanita di atas, baru tanggal 19 Oktober 1993 Yuliana mendapat surat pemberitahuan dari Polda Jatim.

"Tapi baru tiga hari kemudian saya menengoknya. Biar dia punya waktu istirahat."

Yuliana yakin betul, suaminya perlu waktu untuk memulinkan kondisi badan.

"Bapak saya kan purnawirawan ABRI. Jadi, saya tahu persis, orang yang diperiksa di instansi itu pasti capek luar biasa," tandasnya.

Dugaan itu tak meleset. Begitu berjumpa Widayat, "Langsung saja dia mengaku habis disiksa karena tak mau mengaku terlibat dalam pembunuhan Marsinah," tutur Yuliana.

Ketika Widayat akhirnya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, Yuliana pun terkesan pasrah.

"Semua ini kan sudah diatur. Apalah yang bisa kami lakukan? Kami cuma orang kecil," ujarnya pelan.

Meski tanpa suami, Yuliana tak begitu risau menghadapi kehidupan.

"Biar begini, saya biasa terima pesanan potong rambut dan rias pengantin. Kadang juga ada pesanan katering untuk pernikahan. Jadi lumayanlah untuk menutup biaya hidup selama suami saya belum bebas."