Penulis
Intisari-Online.com – Kasih ibu kepada beta/tak terhingga sepanjang masa/hanya memberi/tak harap kembali/bagai sang surya menyinari dunia.
Siapa yang tak mengenal lagu tersebut?
Yuk, kita kenali sosok pengarang lagunya.
Tatkala tokoh musik Sam Saimun meninggal sekitar bulam Juli 1972, Mochtar Embut merupakan salah seorang rekan yang merasakan kehilangan.
Tetapi tanggal 20 Juli tahun berikutnya, jam 01.00 dinihari, ia menyusul rekannya ini di Bandung, dengan ditunggui ibunya.
Anak orang panggung
Mochtar dilahirkan di Ujung Pandang tanggal 5 Januari 1934. Ayahnya seorang pianis merangkap pimpinan musik tonil Miss Riboet, sadangkan ibunya Sukinah adalah seorang penari.
Dari pihak ayah, kakeknya yang bernama Saimun Notoasmoro yang juga seorang pemusik dari Surabaya yang merantau ke Siak Si Indrapura dan mempersunting gadis setempat hingga lahir Embut, ayah Mochtar.
Mochtar sendiri tetap berstatus bujangan.
Syafei yang ditanyai mengenai ini memberi keterangan bahwa kakaknya almarhum pernah jatuh hati dua kali.
Yang pertama pada gadis yang bisa nyanyi dan ikut koor, tapi ternyata kawin dengan pria lain.
Sedang yang kedua sekitar tahun 60-an dengan gadis Jawa 'teman seprofesi' tapi temyata ditolak ibu si gadis.
Alasannya ibu menginginkan keluarga ningrat. Syafei sendiri tidak bersedia mengatakan siapa sebenarnya kedua gadis yang pernah kejatuhan hati Ca-ca atau Tang itu.
Baca juga: Kisah Misterius Jim Sullivan, Musikus yang Hilang Setelah Menciptakan Lagu UFO
Belajar dari kakek
Bakatnya memang ada sejak kecil.
Pada umur 3-4 tahun menurut cerita yang diperoleh dari ibunya Mochtar sering mencoret-coret lantai menggambar-gambar gunung, burung dll.
Ini ternyata merupakan awal cetusan bakat melukis yang dikembangkan hingga di SMA.
Umur 8 tahun Mochtar mulai belajar menulis not dari kakeknya. Bahkan pada umur sekitar itu ia telah berhasil membuat lagu anak-anak yang diberi judul 'Kupu-kupu' tanpa syair.
Lagu pertama yang dihasilkannya adalah 'Percakapan dengan alam' disusul dengan 'Enggan', 'Biola Jiwaku', ‘Kupu-kupu Ditamanku', 'Dian', dan 'Angin malam tiada membawa berita'.
Ini semua dibuat ketika masih di SMP sekitar tahun 1952.
Di SMA ia tidak produktif lagi, 'Bahkan tidak menghasilkan lagu lagi', kata Syafei.
Baca juga: Bocah yang Memakai Sandal Jepit Ini Nyanyi Lagu Air Supply dengan Suara Emas, Netizen: Amazing!
Tolak tawaran luar negeri
Pada tahun '60-an Mochtar yang mengagumi Amir Pasaribu yang dianggapnya sebagai modernis musik Indonesia, ditawari bekerja di Radio Malaysia setelah ia bersama 'Orkes Studio Jakarta' mengadakan muhibah kesana.
Tawaran itu ditolaknya dengan alasan karena tenaganya masih diperlukan di tanah air.
Romantika Mochtar bisa diikuti lewat lagu-lagu yang dihasilkannya. Di samping lagu-lagu yang dihasilkan diibangku SMP, kembali ia tergetar membuat lagu sewaktu ia sedang jatuh cinta.
Cintanya yang pertama dengan gadis Padang mengilhami dua buah lagu yang cukup populer, yaitu 'Si Upik Berbaju Merah' dan 'Si Buyung'.
Kedua lagu itu berirama rumba, gembira sesuai jiwa remajanya.
Tapi kisah cintanya yang kedua dan terakhir membuahkan lagu-lagu yang lebih mantab dan tenang. Yaitu 'Salam mesra buat Halmahera', ‘Di Wajahmu Kulihat BuIan' dan 'Di Sudut Bibirmu’.
Menang setelah tutup usia
Di samiping kedua lagu tersebut, Mochtar aktif mengikuti sayembara penulisan lagu.
Di antaranya mars AURI (Swa Bwana Paksa 1964), mars Pemilihan Umum (1970), mars Keluarga Berencana (1972) dan mars Hari Kanak-kanak(1972).
Untuk lagu yang terakhir ini pengumuman pemenang diterima setelah Mochtar tutup usia.
Tapi Mochtar juga melayani pesanan lagu. Seperti lagu Mars RIAN (pesanan dari Rukun Ibu Departemen Perindustrian) dan Mars Wanita Pertanian dan Trevira Patal Banjaran.
Sebagai pianis sejak kepindahannya ke Jakarta tidak pernah absen mengiring pemilihan Bintang Radio jenis seriosa. Totalnya Mochtar telah menghasilkan sekitar 100 lagu.
Menurut Syafei, kakaknya lebih banyak disibukkan membuat aransemen lagu-lagu orang lain sedangkan membuat lagu tidak dapat dipaksakan. Artinya ilham tidak bisa diharapkan datang terus menerus.
Sejak 1971 almarhum menjadi chief instructor dan memberikan pelajaran electone pada sekolah Yayasan Musik Indonesia.
Setahun kemudian ia diangkat menjadi wakil ketua yayasan sampai akhir hayatnya.
(Ditulis oleh Arif Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1974)
Baca juga: (Video) Balita Ini Menangis Setiap Kali Mendengar Lagu ‘Titanic’. Lucu atau Justru Kasihan?