Penulis
Intisari-Online.com - Bolivia merupakan negara terpencil di Amerika Selatan yang berbatasan dengan Brazil, Argentina, dan Paraguay.
Sebagai penghasil timah dan kokain terbesar di dunia, Bolivia juga menjadi lalu-lintas perdagangan narkoba sehingga demi menjamin keamanan, militer selalu campur tangan.
Meski pada kenyataannya justru militerlah yang selalu dimanfaatkan oleh para kartel narkoba.
Campur tangah militer dalam kancah politik di Bolivia memang sudah menjadi tradisi.
(Baca juga: Masih Ingat Kakek 75 Tahun yang Nikahi Gadis Berusia 25 Tahun? Begini Kondisi Keduanya Sekarang)
Sejak kemerdekaannya di tahun 1825, negeri ini bahkan telah diguncang sedikitnya 180 kudeta yang digerakkan tokoh-tokoh militer.
Misalnya saja, pemilihan umum di tahun 1979 dan 1981 di Bolivia berakhir ricuh. Hasil-hasilnya dianggap meragukan dan penuh kebohongan.
Kericuhan ditingkat atas kemudian meletupkan kudeta. Bagi rakyat Bolivia, ketegangan politik seperti ini ternyata bukan hal baru lagi.
Mereka sudah mengalaminya sejak kemerdekaan negeri ini diproklamirkan pada 1825.
Tahun 1980, Jenderal Luis Garcia Meza Tejada mengadakan kudeta keras dan keji hingga tidak mendapat dukungan luas.
Guna mendinginkan situasi, ia berjanji untuk berkuasa hanya selama satu tahun.
Kenyataannya, di akhir satu tahun yang ia janjikan, ia melakukan kampanye melalui televisi guna mendapatkan dukungan.
Meza mengatakan bahwa ia akan tetap di kantor. Dengan kata lain ia akan tetap mempertahankan jabatannya.
(Baca juga: (Foto) Ada Pesan Mengharukan dari Sang Ibu di Balik Foto-foto 'Menyeramkan' Putra Kecilnya Ini)
Pemerintahan militer Meza terkenal dengan penindasan hak asasi manusia, perdagangan narkoba, dan kesalahan manajemen.
Semasa pemerintahannya terjadi inflasi yang tinggi yang berbuntut pada kacaunya perekonomian Bolivia.
Setelah kudeta militer berhasil menggulingkan Garcia Meza pada 1981, permasalahan terus saja merongrong negeri itu.
Terjadi perpecahan kekuatan politik hingga membuka kemungkinan bagi partai manapun untuk mendominasi.
Tiga kali pemilihan yang dilakukan selama periode ini, tidak ada partai yang meraih mayoritas suara. Bahkan aliansi sejumlah kelompok tak cukup mendobrak kebuntuan.
Pergolakan sosial meningkat saat rakyat kecil mulai bergolak melawan dalam skala besar.
Ini adalah untuk pertama kalinya sejak pemberontakan mereka di penghujung era kolonial. Kalangan pekerja Bolivia lebih radikal dibandingkan sebelumnya.
Pada 1979, saat kongres para pekerja tambang (COB) yang pertama sejak 1970, mereka dengan keras memprotes patokan kaku perekonomian yang didikte Dana Moneter Internasional (IMF).
Kalangan militer Bolivia ternyata menyatakan pro dan kontra atas pendiktean oleh IMF itu.
Perpecahan di Angkatan Bersenjata dan meningkatnya kelompok militer bayangan menunjukkan kian rapuhnya institusi militer.
Apalagi penyelidikan sipil atas pelanggaran HAM yang dilakukan semasa rejim Hugo Banzer Suarez (1971-1979) kian menunjukkan kemerosotan moral para perwira.
Sejak meraih kekuasaan, Banzer menandai rejim kediktatoran di Bolivia.
Tahun 1971, Banzer meraih kekuasaan berkat dukungan AS dan kediktatoran di Argentina dan Brazil.
Tahun 1978, Bolivia berada di bawah pemerintahan de facto Presiden Jenderal Juan Pereda.
Meskipun ia hanya berkuasa selama empat bulan, naiknya Pereda menjadi presiden menandai awal periode paling tidak stabil dalam sejarah Bolivia.
Hanya dalam kurun waktu empat tahun (1978-1982), Bolivia mengalami masa pemerintahan sembilan presiden silih berganti.
Sementara tujuh tahun terakhir Bolivia konsisten di bawah pemerintahan satu presiden.
Di masa pemerintahannya, Jenderal Pereda tak mau mengadakan pemilihan.
Padahal ia sudah berjanji untuk mengadakan pemilihan. Akibatnya ia digulingkan melalui kudeta berdarah pada November 1978 oleh Jenderal David Padilla Aranchibia (1978-1979).
Padilla mendapat dukungan dari kalangan muda institusionalis militer.
Ia melihat peranan utama militer adalah sebagai pertahanan negara dibandingkan sebagai media intervensi politik.
Ia mengumumkan pemilihan untuk tahun 1979 tanpa menyebut satu pun kandidat pejabat pemerintah.
Perubahan hanya pada registrasi pemilih yang lebih sederhana dan 90 persen pemilih memilih delapan kandidat presiden dalam pemilihan yang jujur.
Saat tidak ada kandidat utama yang meraih mayoritas, Kongres menunjuk mantan pimpinan Movimiento Nacionalista Revolucionario Autentico (MNRA) Guevara Arze sebagai presiden interim pada 8 Agusutus 1979.
Ini merupakan rejim sipil pertama sejak periode singkat Siles Salinas. Salinas digulingkan pada tahun 1969.
Hanya bertahan tiga bulan, Arze digulingkan oleh Kolonel Alberto Natush Busch melalui kudeta berdarah pada November.
Kenyataannya, Natusch mendapat perlawanan sipil yang intens dan hanya sedikit mendapat dukungan militer.
Tak ketinggalan aksi diplomatik AS yang mencegah diakuinya pemerintahan Natusch. Hanya dalam waktu dua minggu Natusch pun lengser.
Setelah lengsernya Natusch, dipilih Lidia Gueiler Tejada (1979-1980) sebagai presiden interim. Ia adalah Dewan Deputi dan veteran politisi MNRA.
Gueiler tercatat sebagai presiden wanita pertama di Bolivia. Tahun 1980, Gueiler meraih kekuasaan melalui pemilihan. Saat itu partai kiri meraih mayoritas suara.
Sementara itu Siles Zuazo dan koalisi Democratic and Popular Unity (Unidad Democratica y Popular-UDP) mendapat 38 persen suara. Kongres yakin akan menobatkan Zuazo sebagai presiden pada 6 Agustus 1980.
Proses tersebut dikacau pada 17 Juli 1980 oleh kudeta militer yang keji oleh Jenderal Luis Garcia Meza.
Berdasarkan laporan yang beredar, Meza dibiayai oleh pedagang kokain.
Selain itu Meza juga didukung oleh tentara bayaran Eropa. Tentara bayaran ini direkrut oleh Klaus Barbie, mantan jagal NAZI dari Lyons.
Kudeta Meza mengawali periode tergila dalam sejarah Bolivia. Penculikan secara acak oleh unit militer, penyiksaan, dan penghilangan orang merupakan hal biasa.Aksi kudeta ini juga dibantu oleh penasihat dari Argentina.
Pemerintah yang terlibat dalam perdagangan kokain mengakibatkan Bolivia diisolasi oleh dunia internasional.
Ekspor kokain dilaporkan total sebesar 850 dollar AS selama periode 1980-1981 rejim Meza.
Besaran ini dua kali nilai ekspor resmi pemerintah.’Dollar kokain’ digunakan untuk membeli dukungan pejabat militer.
Namun Meza yang gagal meraih dukungan militer, harus berkali-kali menghadapi upaya kudeta. Akhirnya ia didesak untuk mengundurkan diri pada 4 Agustus 1981.
Kekejian, korupsi luar biasa, dan internasional isolasi terhadap pemerintahan Meza betul-betul meruntuhkan moral dan mendiskreditkan militer.
Banyak pejabat yang ingin kembali ke demokrasi. Namun President Jenderal Celso Torrelio Villa (1981-1982), tak antusias untuk mengadakan pemilihan.
Torrelio muncul sebagai kandidat militer hasil kompromi setelah pengunduran diri Meza, Juli 1982, setelah sekali lagi Meza melakukan upaya kudeta untuk meraih kembali kekuasaan.
Torrelio digantikan oleh Jenderal Guido Vildoso Calderon (1982). Ia ditunjuk oleh pimpinan tertinggi untuk mengembalikan Bolivia ke Demokrasi.
Pada 17 September 1982, selama pemogokan umum hingga hampir terjadi perang sipil di Bolivia, militer memutuskan untuk lengser, mengumpulkan kongres dan menerima presiden yang dipilih.
Setelah 25 tahun lepas jabatan sebagai presiden, Oktober 1982, Hernan Siles Zuazo terpilih kembali menjadi presiden.
Tekanan sosial yang sudah parah, diperparah oleh kesalahan manajemen perekonomian dan lemahnya kepemimpinan.
Alhasil, Zuazo melakukan pemilihan lebih awal dan menanggalkan jabatan setahun sebelum masa jabatannya berakhir.
Rejim keji di Bolivia bolehlah dibilang berakhir dengan jatuhnya Jenderal narkoba Garcia Meza pada tahun 1981.
Meskipun diikuti pemulihan kembali kekuasaan sipil pada tahun 1982, Bolivia masih harus menghadapi tantangan berikutnya.
Bentuk demokrasi yang lain berkembang saat neo-liberalisme melanda negara tersebut.
Selama 30 tahun berikutnya warga Bolivia harus merasakan akibatnya dengan aksi kudeta militer yang terus saja terjadi.
(Baca juga: Terkenal Sebagai Pasukan Khusus Kelas Dunia, Navy SEAL Ternyata Babak Belur Oleh Viet Cong)