Penulis
Intisari-Online.com -Gunung Agung yang berada di wilayah Karangasem, Bali, kembali meletus, Kamis (10/1/2019) pukul 19:55 WITA.
Seismograf yang berada di Pos Pemantauan gunung api Agung di Desa Rendang mencatat durasi erupsi sekitar 4 menit dengan amplitudo maksimum 22 mm.
Sementara itu, status gunung kini berada pada Level III atau Siaga dengan zona bahaya berada pada radius 4 km dari puncak kawah.
Status tersebut tentu saja membuat warga Bali, khususnya yang berada di sekitar Gunung Agung harus bersikap waspada.
Baca Juga : Gunung Agung Meletus: Bagi NASA Itu Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia
Meski, pada dasarnya mereka sudah sangat 'akrab' dengan gunung yang pernah alami letusan besar pada Maret 1963 tersebut.
Warga Bali memiliki sederet cerita dan mitos seputar gunung suci yang sempat dianggap sudah 'mati' tersebut.
Kisah mengenai cerita, mitos, dan legenda Gunung Agung sendiri terekam dalam artikel“Purnama: Bencana, Mistik, dan Kecurangan” yang terbit di MajalahIntisari edisi Maret 1993 di bawah ini.
---
Baca Juga : Kembali Meletus, Ternyata Gunung Agung Tidak Bisa Didaki Sembarang Waktu
Tak seorang pun mengharapkan datangnya bencana, apa pun bentuknya.
Entah itu gempa bumi, banjir, tanah longsor atau meletusnya sebuah gunung.
Hiruk pikuk dan ratap tangis, itulah yang dihadapi warga Kab. Karangasem, dan masyarakat Bali umumnya, ketika Gunung Agung meletus, Maret 1963.
Setelah bencana lewat, yang tersisa hanya reruntuhan bumi, pasir dan batu serta sederet cerita yang masih bisa dikenang terus.
Tentang gunung suci semula gunung tersebut dianggap sudah “mati”.
Beberapa sumber memang menegaskan hal itu.
Misalnya atlas tentang Bali terbitan Belanda 1950 hanya menyebutkan Batur sebagai gunung yang masih aktif.
Sementara laporan dari atase pers Kedubes AS di Jakarta dan Radio Suara Amerika saat kejadian tahun 1963, menyebutkan bahwa Gunung Agung meletus terakhir kalinya 120 tahun lalu dan sejak itu tak ada lagi tanda-tanda kehidupannya.
Baca Juga : Viral! Pria Ini Nekat 'Tonton' Erupsi Gunung Agung Langsung dari Puncaknya
Wallace dalam kunjungannya ke Bali tahun 1880 mengatakan Agung sebagai “gunung api yang besar” tanpa menyebut-nyebut kapan pernah meletus.
Sedangkan Raffles dalamHistory of Javamalah tidak tahu sama sekali namanya, kecuali mengenal “gunung di Karangasem Bali”.
Namun ia sempat mencatat bahwa gunung itu pernah meletus hebat tahun 1811.
Abunya sampai ke daerah Sumbawa.
Lain halnya yang tertulis pada lontar catatan sejarah Bali, letusan terakhir gunung itu terjadi tahun 196.
Sebelumnya pemah juga meletus pada tahun 191 dan 148.
Warga sekitarnya pun tak ada yang tahu persis ihwal gunung tersebut.
Pengetahuan dan mitos mengenai gundukan tanah setinggi 3.031 m ini hanya mereka dapatkan dari tradisi lisan generasi ke generasi.
Baca Juga : Gunung Agung Meletus: Do & Don’t terhadap Vulkanik Gunung Api
Legenda yang mereka percayai, gunung ini merupakan bagian dari G. Mahameru di India.
Menurut kisahnya, pada zaman dahulu ketika sebagian Mahameru diangkat oleh para dewa ke sini, tiga potong gumpalan tanahnya jatuh.
Satu jatuh di kawasan Jawa dan berubah menjadi G. Semeru, yang kedua jatuh di Bali membentuk Gunung Agung, dan yang terakhir jatuh di P. Lombok menjelma menjadi G. Rinjani.
Oleh karena itu ketiga gunung tersebut bisa dibilang masih bersaudara.
Pada waktu tertentu mereka harus melakukan persembahan ke tiga tempat tersebut.
“Sampai sekarang masyarakat Bali masih menganggap Gunung Agung sebagai tempat suci seperti halnya orang India menganggap G. Mahameru. Semakin tinggi suatu tempat, semakin suci karena di sana dipercaya bersemayam Sanghyang Widi Wasa," kata Shadeg SVD, rohaniwan yang sejak 1950 sudah menekuni budaya Bali.
Tak mengherankan, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap gunung satu ini.
Misalnya zaman itu tak seorang pun berani mendaki ke atas tanpa diiringi pendeta.
Itu pun harus membawa sesaji.
Baca Juga : Gunung Agung Meletus, Setengah Triliun Rupiah pun Berpotensi Melayang
Kalau mau naik tidak boleh mengenakan sepatu, arloji. Juga bermacam perhiasan serta uang.
Barang-barang duniawi tersebut bagi dewa-dewa merupakan penghinaan besar.
Di hadapan dewa, manusia harus miskin dan sederhana.
Bagi penduduk sekitar puncak Agung, hubungan emosional khusus dengan gunung ini pun mereka terima seperti halnya “warisan” turun-temurun.
Setiap hari sejak masa kanak-kanak mereka sudah terbiasa melihat Gunung Agung, demikian pula bapak-ibu dan kakek-neneknya serta moyangnya.
Gunung ini menghidupi mereka, memberi air. untuk mengairi tanaman dan kebun serta kebutuhan hidup lairinya.
Maka, ketika harus berhadapan dengan amukan dahsyat lavanya, banyak cerita berbau mistis, irasional mewarnai petaka alam ini.
Apalagi letusan itu awalnya terjadi persis di malam purnama (bulan penuh) yang bagi sebagian besar masyarakat Bali punya arti magis.