Momen Kembalinya Sang Legenda Koes Plus ke Panggung Musik Indonesia Pasca Meninggalnya Tonny

Ade Sulaeman

Penulis

Kafe berkapasitas 400 orang disesaki 800 orang. Kerinduan mereka juga terobati oleh sederet lagu yang hampir semuanya mereka kenal.

Intisari-Online.com – Musik Indonesia tak akan berkembang sepesat sekarang tanpa Koes Plus.

Sejak kelompok ini lengkap bersaudara dalam nama Kus Bersaudara, berubah menjadi Kus Bros, lalu Koes Bersaudara, ganti satu personel menjadi Koes Plus, sampai generasi kedua dan diteruskan oleh banyak kelompok lainnya.

Koes Plus adalah superstar, mahabintang.

Namun cerita di bawah ini penuh kisah manusiawi yang sederhana, jauh dari kilauan bintang.

(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)

News Café Jakarta, 6 – 7 Juni 1993, adalah momen kembalinya Koes Plus setelah nyaris vakum pasca meninggalnya Tonny Koeswoyo, 27 Maret 1987.

Abadi Soesman menggantikan posisi Tonny, sementara Murry, Yok, dan Yon tetap.

Pertunjukan bertiket Rp50.000 dan Rp100.000 itu, di tengah gencarnya penampilan penyanyi/pemusik asing yang harga tiketnya mencapai Rp1 juta, sukses besar.

Kafe berkapasitas 400 orang disesaki 800 orang.

Dua hari itu penonton, para penggemar yang datang dari pelbagai kota, para artis dan penyanyi, pengusaha papan atas seperti Sudwikatmono (meninggal 8 Januari 2008) dan Ponco Suwoto, juga pejabat pemerintahan seperti Menteri Sekretaris Negara Moerdiono (19 Agustus 1934 – 7 Oktober 2011), tak puas oleh penampilan kelompok legendaris yang menancapkan tonggak kuat dalam sejarah musik Indonesia.

Kerinduan mereka juga terobati oleh sederet lagu yang hampir semuanya mereka kenal.

Oh, Kau Tahu, Manis dan Sayang, Selalu, Dara Manisku, Diana, Kisah Sedih di Hari Minggu, Bis Sekolah, Why Do You Love Me, banyak lagi.

Pemrakarsa pertunjukan itu adalah Ais Suhana, penggemar Koes Plus yang sejak pertemuan pertama dengan Yok Koeswoyo, 1975, tergerak ingin mengelola kelompok itu, mulai dari mengurus penampilan, kontrak, sampai membuat album rekaman.

(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)

Sebagai junior, Ais selalu dipanggil “Dik” oleh personel Koes Plus, dan seba­liknya, ia menyapa mereka dengan pangggilan “Mas” – dan secara khusus memanggil “Pak” kepada Murry.

Itulah sapaan yang dia pergunakan dalam buku ini.

Jangan terlalu mahal

Setelah News Café, jadwal manggung Koes Plus makin ketat. Sebut saja di 21 Concert Hall (18 Juni 1993), Puri Agung Sahid Jaya (15-16 Juli), World Trade Center Sura­baya (22 Juli 1993), Night Club Dynasty Jakarta (22 Juli 1993, dan Night Club Regent Jakarta (16 Agustus 1993).

Setelah penampilan di Regent, kami sepakat menolak permintaan manggung untuk sementara.

Kesehatan Pak Murry turun drastis. Hernianya membengkak. Mau tak mau harus dioperasi, suatu hal yang selama ini dia hindari.

Bukan saja karena tidak ada biaya, juga karena takut. Tapi dia tidak bisa lagi mengelak.

Tanggal 21 Agus­tus 1993 Pak Murry dioperasi tim dokter yang dipimpin dr. Fuar di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).

“Kenapa tidak lapor saya? Biaya pengobatan anggota Koes Plus yang legendaris ‘kan bisa dibantu pemerintah?” ujar Moerdiono ma­rah ketika tahu Pak Murry diope­rasi tanpa memberitahu dia.

Selama tidak ada kegiatan show, sambil menunggu Pak Murry sembuh, Mas Yok dan Mas Yon men­ciptakan sejumlah lagu.

Salah satu lagu karya Mas Yon berjudul Baha­gia, katanya ditujukan kepada saya karena terharu melihat kegigihan saya mengasuh Koes Plus walau­pun sempat mereka pelonco.

Setelah hampir dua bulan, Pak Murry sembuh. Koes Plus tampil di Istora Senayan tanggal 16 Oktober 1993, mengisi acara ulang tahun Toko Buku Gunung Agung.

Setelah itu menyelesaikan kontrak yang sudah ditandatangani.

Di Jakarta, Semarang, dan acara sambut tahun baru awal 1994 di Kom­pas Gramedia yang merupakan tugas terakhir saya menangani langsung Koes Plus.

Kebangkitan Koes Plus menyisakan banyak cerita yang waktu itu masih off the record, terutama untuk pers.

Untuk kesepakatan kerja sama, pada 3 Mei 1993 kami menandatangani kontrak berlima.

Honor yang kami terima dibagi sebagai berikut: Mas Yon, Mas Yok, dan Pak Murry memperoleh 20%, sementara Abadi Soesman dan saya memperoleh 17,5%, dan 5% tersisa digunakan untuk kas.

Masalah besarnya nominal honor, kami berembuk.

Saya dan Abadi Soesman yang paling sering berurusan dengan pertunjukan saat itu mengusulkan harga Rp5 juta.

“Jangan terlalu mahal, Rp2 juta saja sudah cukup banyak,” sela Mas Yon tiba-tiba. Mas Yok dan Pak Murry tidak berkomentar.

Bagi saya, harga itu pun masih terbilang murah karena saya membayar Iwan Fals Rp30 juta untuk satu kali tampil di Stadion Lebak.

Saya tidak merasa perlu berdebat. Honor pertunjukan Koes Plus saya usahakan terus meningkat.

Mulai dari Rp15 juta untuk dua kali penampilan di News Café, Rp5 juta di 21 Concert Hall, Rp10 juta sekali tampil di World Trade Center Surabaya, Rp20 juta di Night Club Dynasty Jakarta, dan Rp25 juta untuk satu kali penampilan di Hotel Horison Ancol Jakarta.

Sebagai perbandingan, tahun 1993 kurs AS$1 = Rp1.250.

Saya bersyukur, dalam kelimpahan itu, anggota Koes Plus tidak materialistis, tidak menganut aji mumpung.

Mereka menyanyi kalau mau menyanyi. Kalau tidak berminat ya menolak begitu saja.

Bertahun-tahun Mas Yok lebih suka memancing, membina petani di Banten, atau bersama sahabat- sahabatnya, sementara Koes Plus terus manggung mengandalkan Mas Yon sendiri ditambah tiga pemusik muda.

(Ditulis oleh Mayong S. Laksono berdasarkan Buku Kisah dari Hati, Koes Plus Tonggak Industri Musik Indonesia. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2014)

(Baca juga: Tak Bisa Diam dan Gemar Lompat-lompat, Itu Pertanda Anak Anda Punya Kecerdasan Kinestetik Tinggi)

Artikel Terkait